Senin, 10 Agustus 2020

Aku Gak Mau Dia Jadi Wali Nikahku

 


"Kapan aku boleh ketemu Bapakmu? 

"Gak usah, kamu datang ke Ibuku saja."

"Gak bisa gitu dong! Nanti siapa walinya?"

"Aku gak peduli, pokoknya aku gak mau Bapak ikut campur dengan urusanku."

Pertengkaran kecil kembali terulang. Nyaris setiap kali bertemu dan membahas tentang rencana lamaran, selalu ada pertengkaran. 

"Tris, kalau begini terus, kapan jadinya? Atau sebetulnyan kamu sengaja ngulur-ngulur waktu supaya rencana pernikahan kita gagal?" Suara Didi meninggi, rupanya dia mulai bosan dengan perdebatan yang berkepanjangan. 

"Coba jujur, sebenarnya kamu mau enggak aku lamar?" 

Tris menatap Didi dengan sorot mata tajam, pipinya membulat, lekuk bibirnya melengkung ke bawah. Tak lama kemudian dia berdiri.

"Aku udah bilang, aku mau kamu lamar, tapi aku enggak mau kamu datang ke Bapak. Aku tinggal sama ibu, jadi ngelamarnya ke Ibu." Suara Tris tak kalah kerasnya dari suara Didi, bahkan jauh lebih melengking sehingga orang-orang yang ada di sekitar pantai, sama-sama duduk di tumpukan batu yang sengaja di pasang untuk mencegah abrasi, bahkan yang tengah berendam di air laut, menoleh ke arah mereka.

"Jangan berisik, malu." Didi memelankan suara sambil meletakkan telunjuk di depssn mulut.

Tris tersadar, dia menoleh ke kiri dan kanan, orang-orang memalingkan wajah seolah-olah tak mendengar dan tak memperhatikan.

Tris menarik lengan Didi, melangkah dari satu bongkahan besar batu ke bongkahan lainnya kemudian melompat turun.

"Mau kemana, Tris?" Didi yang berjalan mengikuti Tri bertanya.

"Pulang!"

"Tris, kita harus selesaikan dulu. Orang tuaku sudah aku minta melamar kamu, mereka selalu bertanya, "Kapan, kapan", pusing jadinya." Didi terus saja bicara walaupun Tris tak memperdulikannya.

Sesampainya di rumah, wajah Tris masih saja cemberut. Dia langsung masuk kamar dan membiarkan Didi salah tingkah sendiri. 

"Kenapa dia?" Ibu bertanya pada Didi, yang memang sudah sangat dikenalnya. 

"Maaf, Bu. Tris gak mau aku melamarnya ke Bapak, tapi kan yang bisa menikahkan Tris dan aku, Bapak. Tris maunya Bapak gak usah dikasih tau. Saya jadi bingung. Kata orang tua saya, selama Bapak masih ada, maka yang berhak menikahkan anak perempuan hanya Bapaknya," Didi akhirnya menceritakan semua pada Ibu.

Setelah mendengar cerita dari Didi, Ibu menghampiri Tris di kamar. Gadis 23 tahun, pemilik mata bundar dan hidung lancip itu tengah berbaring menelungkup. Kepalanya menghadap ke dinding. 

Ibu mengusap punggung anak tunggalnya itu. Ibu sangat paham mengapa Tris tak bisa menerima kenyataan bahwa dia masih punya seorang bapak. Hidupnya terlalu pahit. Tris yang semasa kecil sangat dimanjakan Bapak, tiba-tiba harus kehilangan. Bapak kepincut seorang janda, pemilik motor yang dipakai Bapak ngojeg. Bapak rela meninggalkan keluarga demi memiliki motor, kabarnya Bapak langsung dapat jatah motor baru setelah menikah dengan perempuan itu. 

Setelah Bapak tak lagi memperdulikan mereka, Ibu pontang panting mencari nafkah untuk kehidupan mereka berdua. Pagi Ibu pergi ke rumah-rumah tetangga untuk menawarkan tenaganya, terkadang ada yang menyuruhnya mencuci pakaian, ada pula yang minta tolong dimasakkan, tak jarang yang memintanya merapikan rumput di taman. Tri kecil terpaksa di rumah sendirian, paling tetangga sebelah yang kadang-kadang menengok dan memberinya jajanan. 

Kehidupan mereka yang susah, tak menghentikan semangat Ibu menyekolahkan Tris hingga akhirnya dia tamat SMK jurusan akuntansi kemudian bekerja di sebuah wedding Organizer sebagai staf keuangan.

"Tris, Ibu ngerti kamu masih marah sama Bapak," Ibu memulai dengan suara lembut.

"Tapi, kamu gak bisa menafikkan bahwa kamu adalah anaknya,"

"Aku gak mau! Aku gak punya Bapak," Tris membalik tubuhnya, sekarang terlentang menghadap Ibu. Air matanya merembes melewati telinga. 

"Bapak kan masih hidup, jadi dia yang harus jadi wali,"

"Bapak sudah mati, Bu," Tris kini membelakangi Ibu.

Ibu menarik nafas dalam-dalam, sebelum kembali membujuk anak semata wayangnya.

"Kamu gak bisa nikah kalau gak ada wali,"

"Si Upit, bulan lalu nikah enggak sama Bapaknya," Tris berargumen.

"Itu karena Bapaknya ada di Malaysia."

"Kalau mau, dia kan bisa pulang," 

"Tidak sesederhana itu, Bapaknya Upit harus wajib lapor karena kedapatan menjadi kurir barang terlarang, dia tidak bisa keluar dari Malaysia."

"Tris, satu hal yang tidak bisa kamu tolak, di darahmu ada darah Bapakmu. Kamu anak kandungnya dan dia wajib menjadi wali nikahmu."

Tris tak bersuara, tapi hatinya masih belum bisa menerima semua penjelasan Ibu. Perihnya kehidupan yang dirasakannya selama ini, menyisakan kemarahan yang susah diobati.

@@@@

“Tris, keluargaku akan datang Minggu depan ke rumahmu,” percakapan Didi dan Tris di salah satu sudut warung baso, masih tentang rencana lamaran.

“Ke rumah Ibuku, kan?” 

“Ya, sesuai maumu. Lamaran dan acara,  semua di rumah Ibu, tapi untuk akad Bapakmu harus datang dan jadi wali,” Didi  sangat hati-hati bicara pada Tris. Dia tak mau Tris ngambek lagi.

“Di, kita gak usah nikah aja. Aku tetep gak mau kalau dia yang jadi wali nikahku,”

“Tris, kok gitu, sih? Aku mau nikah sama kamu. Keluargaku semua sudah tau, kalau dibatalkan berarti kamu bener bener pengen mempermalukan aku.”

“Kamu pikir aku gampang ngomong kayak tadi? Tapi kamu maksa aku ngomong kayak gitu. Kamu gak ngerti gimana sakitnya diabaikan, ditinggalkan, dilupakan. Mengapa tiba-tiba saja dia harus menjadi bagian penting dalam hidup aku?” ragu-ragu Didi menyentuh lengan Tri, menenangkannya dengan usapan.

"Tris, kita ini hanya manusia. Hanya berkewajiban menjalani apa yang sudah ada aturannya. Dia,  Yang Maha Mengatur ini yang paling tau yang terbaik bagi kita," Tris tak menjawab. Kepalanya masih tertekuk menghadap lantai.

Sementara itu di sudut lain warung baso, tempat mereka saat ini berada, seorang lelaki paruh baya hanya tertunduk  menahan sesak, dia tak mampu lagi menelan sesendok kuah baso yang baru disorongkannya ke mulut.

Ditulisnya beberapa baris kalimat di dua lembar kertas nota yang dimintanya dari pedagang baso.

Tris, Bapak minta maaf. Bapak banyak dosa sama kamu. Kalau kamu enggak mau Bapak jadi wali, Bapak ikhlas. Bilang saja sama penghulunya, Bapakmu enggak ada. Bapak  tetep doain kamu supaya dapat jodoh yang baik, gak punya adat seperti Bapak.

Di lembar nota ke dua, Lelaki itu menuliskan izinnya untuk menikahkan anaknya. Kalimat yang ditulisnya tidak cukup rapi, tapi lumayan bisa dipahami maksudnya.

Lelaki iu lalu menyelinap keluar lewat pintu samping, setelah membayar semangkuk baso yang ditinggalkannya begitu saja. Kertas nota yang tadi dtulisinya dititipkannya supaya diberikan ke Tris. 

Usai membaca surat pendek di atas kertas nota, Tris berdiri dan mencari-cari keberadaan bapaknya, tapi sudah tak tampak. Tris berusaha mengejar ke luar warung baso, juga tak terlihat.

Lamaran itu akhirnya berlangsung juga. Setelah itu Tris dan Didi  berusaha menemukan Bapak. Tapi seminggu kemudian mereka dapat kabar  ayah Tris meninggal di RS setelah mengalami kecelakaan saat akan menjemput penumpang langganannya. 

Pak maafkan Tris. Tris cuman kangen sama Bapak, tapi Bapak gak pernah pulang. Tris kangen dibonceng sepeda sama Bapak, Tris kangen disuapin sama Bapak. Tris kangen Bapak. 

Di ujung malam, doa Tris terpanjat, untuk pengampunan atas dosa dosa Bapak. 












Kamis, 06 Agustus 2020

Yang Tak Pernah Hilang #tamat

Bagian sebelumnya
Cerita Rio:
Masih terlalu pagi untuk melakukan aktivitas. Udara dingin sisa hujan tadi malam membuatku kembali menyelusup  di bawah selimut setelah menyelesaikan solat subuh. Lagipula patroli di tanah yang masih becek bukan pekerjaan yang ringan. Menunggu tanah agak kering, juga menjadi alasan mengapa aku masih saja tergeletak di ranjang ini.

Di ambang sadar karena mata masih ingin terpejam, terdengar suara gaduh di luar. Tak lama pintu kamarku diketuk.

Masih dengan kain selimut membungkus tubuh, aku membuka pintu. Welli dan seseorang  berdiri di depan pintu.
"Ada badak mati," ujarny saat aku telah ada di depannya.
"Siapa yang menemukan?" Tanyaku sambil tergesa mengganti pakaian.
"Saya, Pak. Tadi saya lewat Ciranjang menuju Cibandowah. Di perjalanan mencium bau bangkai, waktu saya telusuri ternyata bangkai badak." Laki laki yang datang bersama Weli menjelaskan dengan rinci.
Bagi kami yang bertugas di sini,  kematian badak adalah musibah besar. Satwa langka ini sudah nyaris punah. Kematian satu badak saja merupakan kerugian besar bagi dunia.

Tanpa banyak bertanya lagi, kami langsung menyeberang menuju pos Cibunar.  Dari sini pencarian pun dimulai.   Berjalan kaki menyusuri hutan menuju Cibandowah.   Sebelum sampai ke lokasi yang kami tuju, kami  mencium aroma bangkai yang menyengat. Sempat terjadi perdebatan tentang lokasi dengan warga yang mengantar kami ke lokasi, Setelah berdiskusi sebentar, rombongan dibagi dua, tiga orang melanjutkan perjalanan ke lokasi yang ditunjukkan pelapor dan aku bersama Budi  melakukan pencarian di sekitar Cibandowah. 
Cukup lama kami melakukan pencarian, yang kami cari belum juga terlihat. Medan yang sulit karena jalanan becek dan gelap, menyulitkan pekerjaan. Hari sudah semakin siang, Aku dan Budi memutuskan melakukan pencarian di daerah berbeda agar lebih efisien.

Ini pekerjaan nekad dan penuh risiko. Aku hanya sendiri di antara pohon pohon besar, berjalan di atas jalan setapak yang  licin, yang setiap saat bisa membuatku  terjengkang. Setiap kali seekor ular melintas tak jauh di atas kepala, aku berdiam diri dengan menahan nafas.
Aku terus masuk ke tengah hutan, semakin dalam semakin gelap. Jalan setapak tak lagi terlihat, penuh ilalang dan semak belukar karena tak pernah dilalui manusia. Rasa takut mulai menghantuiku. 
Lelah membuatku memutuskan berbalik arah, kembali mengikuti arah dari mana tadi datang. Sudah lebih satu jam berjalan, aku tersadar, aku berada di jalan yang salah. Aku berada di tengah hutan yang tak kukenali. Aku tersesat.
Hari semakin gelap. Hujan deras memaksaku berhenti berjalan dan berteduh di bawah pohon besar.
Rasa letih, dingin, lapar, juga rasa cemas, hanya kulawan dengan rapalan doa. Aku memasrahkan hidupku pada pertolongan-Nya. Hanya Dia harapanku satu-satunya saat ini hingga akhirnya aku terlelap dan tak tahu apa yang kemudian terjadi. Dua hari kemudian baru ditemukan oleh tim pencari dalam keadaan tak sadar.
"Eka, tahukah kamu apa yang terjadi padaku?"
@@@
Carita Eka:
Mungkin yang kulakukan salah, mencintai tanpa mampu memperjuangkan. Mempertahankan juga mungkin hanya untuk bahagiaku sendiri. 
Pada titik ini, ketika yang kurasakan justru rasa bersalah, aku ingin semua berakhir.
Sebuah surat kutulis, tapi tak juga kukirim, mampukan aku kehilangannya? Mungkin terlalu lama dalam kebimbangan, surat dari Rio yang justru kuterima. 
Rio bercerita tentang sebuah kejadian di hutan yang menimpa dan membuatnya sakit cukup parah. Tentang igauan saat suhu tubuhnya tinggi yang mencemaskan seluruh keluarga. Saat keluarganya nyaris menjemputku ke Bandung, tapi dengan berbagai pertimbangan, dibatalkan. 
Kabar ini membuatku menangis. Betapa tak berdayanya aku. Seharusnya surat itu membuatku segera pulang, tapi aku tak melakukannya. Dan aku hanya berharap Rio memahami keadaanku. Masih saja aku berharap pengertiannya, apa yang bisa kutunjukkan sebagai bukti rasa sayangku? Ternyata aku hanya bisa mengasihi diri sendiri, ini menyebalkan!
Masih patutkah ini disebut mencintai?

@@@
Penulis:
Terlalu banyak aral, terlalu banyak luka, tapi tak memiliki harapan.  semua ini membuat Rio dan Eka akhirnya harus menyerah. Perjuangan yang sia-sia hanya buang buang waktu saja. 
Sebuah surat yang  dikirim Eka  menyelesaikan semua. Surat yang tak pernah dia terima balasannya. 
Sebuah komitmen mengakhiri yang tak pernah secara tegas disepakati. Yang tak bisa menghentikan  keinginan untuk tetap bertemu walau akhirnya jarak menyelesaikan dengan sempurna. 

Pada akhirnya mereka berdua harus melanjutkan hidup dengan jalan nasibnya masing-masing. Tapi,  jejak cinta itu tak pernah hilang, masih saja sering menyeruak dalam ruang ruang kosong.
 Ketika kembara rindu tak menemukan labuh yang diinginkan, dia akan mengganggu di sepanjang hidupmu.

 Tamat

#Terima kasih untuk cerita-cerita yang mewarnai sebagian besar kisah ini.

Selasa, 04 Agustus 2020

Rahasia Hati



Arum membuka matanya perlahan, sentuhan lembut Tio di dahinya membuatnya terjaga.
"Maaf, aku mengganggu tidurmu," ujar Tio yang tengah duduk di sisi ranjang. Tangannya mempermainkan rambut Arum. Perempuan yang sudah mulai menua itu hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala.

"Aku selalu suka terbangun karena belaianmu," Arum menyentuh wajah Tio.
Tio membaringkan tubuhnya di sisi Arum, setelah terlebih dahulu merapikan selimut istri yang dinikahinya tiga puluh tahun lalu. Arum memiringkan tubuhnya menghadap ke arah Tio, tubuh mungilnya kini berada dalam rengkuhan lengan Tio. Sejenak dia menikmati walau kemudian menggeser lengan Tio yang mulai lelap. Saat Tio tertidur, lengannya terasa semakin berat dan membuat dada Arum sesak.

Usai solat subuh, Arum menuju ke dapur untuk menyiapkan sarapan bagi Tio dan dua buah hatinya. Pekerjaan rutin yang tak pernah membuatnya bosan. Bagaimana dia bisa bosan, setiap makanan yang dihidangkan selalu saja membuat Tio dan kedua anaknya makan dengan lahap dan berujung dengan pujian.

"Bilang terima kasih pada Mama, Mama selalu menyediakan sarapan enak untuk kita," selalu begitu, bahkan sampai kedua gadisnya beranjak dewasa.

Setelah melepas ketiga orang kesayangannya Arum mulai sibuk dengan dirinya sendiri. Membuka laptop dan menulis. Sejak kelahiran anak pertama mereka, Arum memilih berhenti bekerja. Dia ingin konsen mengurus keluarga. Sebagai suami, Tio tak pernah melarang atau menyuruh Arum bekerja. Dia menyerahkan pilihan pada Arum. Hidup mereka tampak sempurna.

@@@

Arum berpindah dari satu rak ke rak lainnya, memindahkan beberapa barang dari rak ke troli yang ada di sisinya. Berbagai barang kebutuhan rumah tangga sudah hampir
memenuhi keranjang besi itu

Setelah memeriksa catatan belanja yang tertulis di HP dan yakin semua yang dibutuhkannya sudah masuk ke troli, Arum mendorong troli ke arah kasir kemudian membayar. Setelah itu, Arum menuju honda yaris putih yang terparkir di sisi kanan gedung pusat perbelanjaan.

Arum merasa risi sekaligus cemas karena ada sosok yang mensejajarinya. Dia mempercepat langkah tanpa merasa perlu tahu, siapa sosok yang berjalan di sisinya. Sosok itu mengimbangi, berjalan secepat langkah Arum.

Sebelum mencapai kendaraan, dengan paduan rasa takut dan ingin tahu, Arum memberanikan diri menoleh ke arah sosok yang ada di samping kananya.

"Selamat sore, Arum. Apa kabar?" Arum terperanjat. Suara itu sangat dikenalnya. Dia tak perlu melihat wajahnya, dia tahu siapa sosok yang berdiri di sampingnya. Suara yang dulu selalu menemani jelang tidurnya. Untuk yang tersayang di peraduan, selamat tidur, kalimat itu begitu jelas melekat di pikiran Arum. Dia adalah cerita yang tak pernah selesai.
"Baik, kamu?" Percakapan singkat, miskin kata-kata, tetapi menciptakan gemuruh yang maha dasyat di hati keduanya.

"Boleh aku menghubungimu lagi?" Angga mengeluarkan HP dari saku celananya, dan menulis angka-angka yang disebutkan oleh Arum. Keduanya berlalu menuju kendaraan masing-masing. Gemuruh di dada Arum ternyata tak segera hilang.

@@@
"Arum, cerita kita belum selesai, kan?" Pesan whatsap dari Angga menyapa Arum saat dia akan menyalakan laptop.
Arum tak segera membalas. Lama dia tercenung menatap layar HP. Ya, cerita itu memang tak pernah selesai. Tak pernah ada kata akhir yang jelas. Semua mengambang lalu menguap, tapi di hati terdalam masih tetap ada. Arum berbisik pada hatinya. Terkadang aku masih punya mimpi tentang kita. Aku tak ingin kita kalah, aku ingin kita memenangkannya. Nyatanya, kita memang kalah. Kita tak mampu bertahan.

Satu denting kecil terdengar lagi,

"Arum, salahkah jika aku masih menyimpan cerita tentang kita?"

Bagaimana mungkin aku melarangmu karena aku melakukan hal yang sama. Aku masih menyimpan semua dengan utuh.

"Tahukah kamu, aku selalu saja menyayangimu?"

Menyayangimu bagiku adalah simfoni hati yang indah, aku tak akan menghentikannya. Dan mengetahui kau masih menyayangiku, menjadikannya sebuah orkestra yang sempurna.
"Arum, mengapa pesanku hanya kau baca?"

Arum menghirup udara dengan tarikan dalam, setelah sejenak terdiam kemudian mengetikkan beberapa kalimat,

"Aku tak mau kita selalu berada di wilayah terlarang, itu menyakitkan. Aku tak mau lagi merasa kalah. Biarlah semua kusimpan rapat-rapat sebagai sebuah rahasia. Rahasia hatiku dan hanya kamu yang tahu. Kamu akan tetap jadi warna merah di darahku. Yang tak pernah hilang dari ingatanku. Tapi itu bukan berari aku tak bahagia saat ini, sama denganmu, aku percaya kamu adalah pencinta yang pandai membahagiakan orang yang kamu cintai."

Setelah menekan enter, Arum menekan tombol power, mematikan HP-nya. Dia ingin mengakhiri percakapan pagi ini. Setidaknya dia berusaha agar tak larut dalam kenangan masa lalu, kisah yang tak pernah dilupakan, atau dia memang tak pernah mencoba melupakan.Dia ingin tetap menyimpannya walau dia tak tahu untuk apa.

Sementara di ujung sana, Setelah menghapus semua percakapan yang baru saja dilakukannya dengan Arum, Angga  menghampiri istrinya lalu duduk sambil menyandarkan kepala di bahu perempuan yang telah mendampingi dan berbagi cinta dengannya hampir di sebagian terbesar usianya. Angga memainkan telapak tangan istrinya sementara wanita itu menatapnya bingung.

“Bahagiakah kamu menjadi istriku?” tanyanya tiba-tiba. Istrinya yang masih merasa aneh dengan sikap Angga hanya bisa mengangguk.

“Syukurlah, karena aku tak mau istri yang aku cintai tak bahagia hidup denganku.”

“I love you,”  bisiknya lembut sambil terus menggenggam lengan wanita itu.


TAMAT


Senin, 03 Agustus 2020

Yang Tak Pernah Hilang #5


Bagian sebelumnya
Cerita dari Rio:

Sudah sepuluh hari  aku kembali berada di sini, di keindahan dan kemurnian alam raya. Di kesunyian dan kerinduan yang  masih saja mengganggu.  Yang berbeda, aku menikmati pekerjaanku. Sekarang bukan lagi sekadar tempat menyembunyikan  rasa kecewa. Sekian lama berinteraksi dengan  alam perawan, menjaganya dari tangan-tangan tak bertanggung jawab, menumbuhkan kecintaan yang sesungguhnya. Aku mulai mengerti bahwa pekerjaanku bukan saja soal komitmen dan janji terhadap negara, tapi lebih dari itu. Ini soal bagaimana harus bertanggung jawab kepada-Nya. Bumi yang diciptakan-Nya merupakan sebuah ekosistem besar, merusak salah satu rantainya akan menimbulkan banyak kerugian bagi manusia.

Sepuluh hari cukup lama karena hingga pagi ini aku belum mendapat kabar dari Eka, mungkin dia sudah kembali ke Bandung.  Belum ada cerita tentang apa yang kemudian dihadapinya malam itu. Aku hanya mengingat bagaimana dia berlari menembus hujan meninggalkanku, tanpa dapat berbuat apa-apa. Sesekali terlintas pula keinginan untuk mengakhiri, mungkin semua akan menjadi lebih baik. Hanya saja aku ragu, apakah dia akan mengerti bila kulakukan hal itu?

“Sudah siap?” Budi sudah berdiri di depanku dengan pakaian lengkap. Kami akan menyeberang ke Cidaon lalu berjalan kaki menyusuri jalan setapak menuju Cibunar  untuk  memandu beberapa wisatawan yang berkunjung. Cibunar  termasuk pantai selatan dan masih berada dalam kawasan TNUK.  Diperlukan  waktu berlayar sekitar 15 menit untuk sampai ke sana dengan menumpang kapal. 

Seharian mendampingi wisatawan menyaksikan satwa liar berkumpul di tengah padang yang luas. Menjadi tanggung jawab kami, para petugas, menjaga keselamatan pengunjung karena di sini segala sesuatu bisa terjadi, bahkan yang tak masuk akal sekalipun.  Di sini kesalahan bertindak bisa berakibat fatal. Menyaksikan kawanan banteng merumput atau rusa berkejaran, jika beruntung bisa juga melihat badak jawa melintas, tentunya pengalaman luar biasa bagi para pengunjung. Tetapi, di sini juga ada macan, ular berbisa, atau satwa berbahaya lainnya,

Pukul tiga sore, kami kembali ke Pulau Peucang.  Tugas memandu wisatawan sudah selesai. Tiba di daratan aku menghempaskan diri di atas pasir, berbantalkan ransel yang sedari tadi kusandang di bahu. Menatap langit berwarna jingga ditingkah debur ombak yang datang berirama. Suasana tenang ternyata membuatku ingat lagi pada masalah yang tak jelas akan ada penyelesaiannya atau tidak.

Apa kabar kamu di sana?


@@@

Cerita dari Eka

Liburanku masih sisa dua hari, tapi Ayah menyuruhku segera kembali ke Bandung. Seharusnya hari ini aku tengah berkumpul dengan teman-teman SMP-ku sesuai yang kami rencanakan sebelumnya, tapi sekarang aku di sini, sendiri dalam kebimbangan. Sepucuk surat kutulis untuk Rio, mudah-mudahan bisa segera sampai ke tangannya. Menulis untuknya membuat rasa sesak di dadaku sedikit berkurang.

Hari-hari selanjutnya adalah perjuangan untuk pindah jurusan. Waktuku habis di sekolah karena harus masuk di dua kelas, pagi dan sore. Walau dikemudian hari akhirnya aku bisa membuktikan bahwa aku mampu. Di kedua kelas nilaiku cukup memuaskan. Kesibukkan sekolah ternyata bisa pula membantu mengusir gulana. Bahagiakah aku d sini? Entahlah!

Pagi ini aku melintas di depan ruang Tata Usaha Sekolah, beberapa amplop surat berjajar di kaca Aku berharap salah satunya untukku. Kubaca satu persatu alamat tujuan surat, dadaku bergemuruh saat kutahu ada satu surat untukku. Aku segera masuk ke ruang TU dan meminta izin untuk mengambil surat itu. Seperti biasa, aku selalu tak sabar ingin segera membaca suratnya, walau akhirnya tetap saja harus menunggu sampai nanti tiba di rumah.

Kedatangan surat Rio yang selalu kuharap, walau membacanya selalu saja menyadarkanku betapa sulitnya memperjuangkan cinta ini, mengabarkan sedang mengikuti Diklat di Bogor dan akan ke Bandung. Setelah itu hari-hariku adalah menunggu, berharap waktu itu segera datang.
@@@
Penulis:

Masih pagi, Eka sudah bingung. Pagi ini dia harus ke Jalan Setiabudi, di sana ada Rio menunggu. Eka panik dan gugup, dia takut untuk minta izin. Dia takut Kakak akan curiga.

“Antar Kakak ke Margahayu, ya?” Tiba-tiba saja Kakak mengajaknya pergi. Eka tak segera menjawab. Otaknya berputar-putar mencari alasan yang paling tepat dan tidak dicurigai. Bagaimana pun dia harus bilang karena kalau tidak, dari mana dia dapat uang untuk ongkos.

“Enggak bisa, mau pergi, ada janji sama teman,” ujarnya kemudian dengan degup jantung yang  sangat keras, bahkan dia takut suara jantungnya terdengar oleh Kakak.

“Mau ke mana?”

“Ke Setiabudi, teman-teman SMP mau kumpul di sana,” kali ini Eka sudah semakin tenang dengan kebohongannya. Kebetulan Kakak memang tahu, ada teman SMP nya yang tinggal di situ.

Eka sangat beruntung pagi ini karena Kakak tidak banyak bertanya, setelah memberinya uang untuk ongkos, Kakak berangkat ke Margahayu dan Eka pun berangkat menuju Jalan Setiabudi.

Rindu membuat Eka lupa bahwa sejak tadi malam kepalanya sakit. Jalanan macet dan udara dingin tak menghalangi. Rindu memang bisa meleburkan rasa sakit, tak disadarinya suhu tubuhnya terus naik. Ketika akhirnya mereka bertemu, Rio menyadari bahwa Eka kurang sehat. Upaya Rio mengajaknya ke dokter, tak diturutinya. Eka hanya tak ingin ada yang mencuri waktu yang singkat ini, tidak juga seorang dokter.

 Bersambung ke sini




 


Kamis, 30 Juli 2020

Hati yang Mendua #end





Usai solat subuh, Aini kembali merebahkan diri. Beberapa hari ini dia seperti kehilangan sebagian besar gairah hiduo. Hati yang mendua membuatnya terjebak pada situasi yang tak menyenangkan.
Terkadang batinnya berkata, bahwa bahagia yang sempurna adalah memenangkan semua mimpi, dan itu adala Ridho. Tapi, di sisi hatinya yang lain, dia tak ingin kehilangan Ami. Dia telah terbiasa dengan kehadirannya. Lelaki yang selalu mendukung segala aktivitasnya, memaham kecintaannya pada anak didik, dan tempat berbagi tentang dunia sekolah yang dilakoninya. Sebagai sesama guru, mereka selalu punya topik-topik menarik untuk diperbincangkan, terlebih polah dan tingkah murid-murid yang tengah beranjak remaja.

Cerita tentang sekolah dengan berbagai problematikanya, adalah dunia yang mereka jalani. Tak semua yang berprofesi guru, melakukan seperti yang mereka lakukan. Menjadikan sekolah dan anak-anak sebagai arena untuk melepaskan banyak energi yang dimiliki. Ami melakukannya, sama seperti dirinya. Dia ingin selamanya seperti itu.

"Ay, ada Vina di luar!" Suara ibu yang sudah berdiri di depan pintu kamar yang pintunya tak tertutup rapat.
"Iya, Bu." Gadis berpipi cabi itu pun bangkit dan melangkah menuju teras, di sana ada Vina tengah mengamati bunga anggrek kecil berwarna kuning dalam vas kecil di atas meja.
"Ini bunga asli, Ay?" Tanyanya saat menyadari kehadiran Aini.
"Asli lah, mana ada yang palsu di sini."
"Kamu tuh yang palsu," Vina menunjuk Aini. Kemudian mereka berdua tertawa.
"Minum apa, Vin?"
"Biasanya kamu punya buah markisa, jus nya pasti seger,"
"Ya, maunya yang susah. Nyesel nanya."
Vina kembali tertawa, tapi kali ini dia sudah melangkah ke dalam rumah dan langsung membuka kulkas. Buah markisa berwarna kuning diambilnya dan ditunjukkannya pada Aini yang sudah berdiri di belakangnya.
"Biar aku bikin sendiri, kamu mau juga?" Aini mengangguk dan menyerahkan dua gelas kosong yang ada di tangannya.
"Gulanya ada di meja," lanjutnya.

Aini dan Vina kembali duduk di teras dengan gelas jus markisanya masing-masing.
"Sudah denger belum?" Aini menoleh ke arah Vina dengan gelas yang masih menempel di mulut. Dia menggeleng.
"Si Prapti kan kemarin nikah," Vina memulai gosip pagi.
"Oh" Aini menanggapi sekadarnya, tangannya malah asik mengaduk-aduk batu es dalam gelas.
"Dia nikah dengan siapa coba?" Vina semakin serius. Aini menggeleng lagi.
"Ridho, sepupunya Fitri, yang waktu itu kita ketemu di rumah Fitri."
Tangan Aini yang sedari tadi asik memainkan sendok, tiba-tiba terasa kaku. Saat itu mungkin wajahnya memucat, tapi Vina tak memperhatikan. Aini berusaha tetap tenang, menyembunyikan keterkejutannya.
"Kamu ke sana waktu mereka menikah?" Sebetulnya ada getar aneh di suara Aini, lagi-lagi luput dari perhatian Vina.
"Enggaklah, gak ada yang dikasih tahu. Aku saja baru tahu tadi pagi dari Fitri,"
"Mereka pacaran?" Suara Aini mulai tenang.
"Enggak, mereka baru kenal beberapa bulan aja."
"Itulah jodoh, susah diprediksi. Pacaran lama, eh putus. Yang baru kenal bisa menikah."
@@@

Vina sudah pulang, tapi ceritanya tentang pernikahan Ridho yang terkesan terburu-buru dan tertutup, menganggu Aini. Sampai menjelang dini hari matanya tak mau terpejam. Apa yang terjadi di antara mereka? Belum lama Ridho masih terkejut saat mengetahui Aku dekat dengan seseorang, dan tiba-tiba saja hari ini dia menikah. Jadi yang kemarin itu apa? Nyatanya bagi Ridho, aku hanya teman Fitri, tak lebih. Mengapa aku sebodoh ini? Masih saja bermimpi dan berharap cintanya. Bahkan aku menyakiti hati Ami demi sesuatu yang sesungguhnya tak pernah ada.

Banyak sesal berkecamuk di pikiran Aini. Dia semakin takut jika Ami benar-benar meninggalkannya. Sudah dua minggu dia tak datang dan Aini tak pula berusaha menghubungi. Ami, maafkan aku. Matanya mengembun dengan penyesalan yang dalam.

@@@

Matahari sudah agak tinggi, Aini baru terjaga.Tadi malam usai solat subuh dia baru bisa tidur.
Di luar sudah ramai kendaraan yang lalu lalang. Aini membuka jendela, menikmati hangat pagi yang menyeruak masuk ke dalam kamarnya. Dihelanya nafas dalam dalam, rongga dadanya terasa agak lapang. Tiba-tiba matanya tertumbuk pada motor yang terparkir di dekat pohon palm merah di samping teras.
Aini mengucek matanya, berusaha meyakinkan hatinya bahwa ada Ami duduk di teras rumah, di tempat biasa dia duduk. Dada Aini bergemuruh. Tampaknya hati Aini kembali utuh untuk laki-laki berambut ikal, sahabat SMP-nya saat sama-sama mengurus mading sekolah.
Aini segera mencuci muka dan memoles wajahnya dengan bedak dan lipstik tipis-tipis kemudian menemui Ami, dia tak ingin cinta itu kembali kecewa. Dia segera menemui Ami dengan segelas teh manis.

Tamat







Selasa, 28 Juli 2020

Sepuluh Syarat Pelaksanaan Pembelajaran Tatap Muka di Kabupaten Pandeglang


Belajar dari rumah yang banyak dikeluhkan, menuntut segera diberlakukannya kembali pembelajaran tatap muka. Kadisdik Kabupaten Pandeglang menyatakan bahwa pembelajaran tatap muka akan dimulai bulan Agustus yang akan datang setelah melakukan rapat koordinasi dengan berbagai pihak terkait, diantaranya Dinas Kesehatan Kabupaten Pandeglang.
Meskipun pembelajaran tatap muka segera dimulai, bukan berarti pelaksanaannya sama dengan tatap muka sebelum pandemi. Ini 10 hal yang menjadi persyaratan:

1. Surat rekomendasi dari Puskesmas setempat
2. Surat dukungan dari orang tua atau wali siswa untuk belajar tatap muka.
3. Surat oersetujuan dari pengawas sekolah.
4. Foto kelengkapan sarana kebersihan, berupa tempat cuci tangan di depan gerbang sekolah.
5. Foto petugas pemeriksa suhu tubuh beserta kelengkapannya.
6. Foto ruang guru yang jarak antar bangku sesuai pedoman jaga jarak fisik.
7. Foto ruang belajar dengan bangku sesuai dengan pedoman jaga jarak fisik.
8. Foto petugas UKS di ruang UKS
9. Foto petugas sedang membersihkan toilet.
10. Memasang spanduk sekolah daerah wajib masker.
Seluruh persyaratan dikirimkan ke kantor Dinas Pendidikan, paling lambat tanggal 31 Juli 2020.

Info diperoleh berdasarkan surat edaran dari Dinas Pendidikkan

Senin, 27 Juli 2020

Pembelajaran Tatap Muka Dimulai Bulan Agustus



Setelah BDR yang cukup lama, menyita waktu dan pikiran, menghasilkan banyak keluhan, tetapi tidak mencapai target kurikulum, Kadisdik Kabupaten Pandeglang H. Taufiq Hidayat menyatakan bahwa pembelajaran tatap muka akan dumulai bulan Agustus ini, pada saat menggelar rapat koordinasi pembelajaran tatap muka di Aula Kantor Dinas Kabupaten Pandeglang (Senin, 27 Juli 2020)
Selanjutnya beliau menjelaskan bahwa teknis penyelenggaraannya tetap harus mengikuti protokol kesehatan. Guru, siswa, tenaga kependidikan atau siapa pun yang berkunjung ke lingkungan sekolah harus mengenakan masker. Ketersediaan tempat cuci tangan, hand sanitizer juga harus diperhatikan.
Yang menjadi perhatian penting, bukan hanya tercapainya target kurikulum, tetapi keselamatan anak, guru, keluarga dan seluruh masyarakat, lanjut beliau.
Selama BDR keberhasilan kegiatan pembelajaran hanya mencapai 30%. Banyak kendala yang harus dihadapi, mulai dari penguasaan teknologi IT- guru maupun orang tua- yang masih rendah, tidak seluruh wilayah di Kabupaten Pandeglang terjangkau signal, belum semua siswa memiliki android, mahalnya paket data. Semua kendala yang datanya diperoleh melalui survey kepada guru dan siswa, yang menjadi pertimbangan sehingga dirasa perlu untuk segera melakukan pembelajaran tatap muka.

Sumber https://www.japos.co/2020/07/27/kadisdik-proses-kegiatan-belajar-tatap-muka-dilaksanakan-bulan-agustus-mendatang/

Unggulan

Cerita dari Masa Lalu #2

  Klik untuk membaca bagian sebelumnya Ekspresi kecewa, jelas terlukis di wajah Resti. Menelpon balik? Resti menghilangkan kemungkinan itu....