"Kapan aku boleh ketemu Bapakmu?
"Gak usah, kamu datang ke Ibuku saja."
"Gak bisa gitu dong! Nanti siapa walinya?"
"Aku gak peduli, pokoknya aku gak mau Bapak ikut campur dengan urusanku."
Pertengkaran kecil kembali terulang. Nyaris setiap kali bertemu dan membahas tentang rencana lamaran, selalu ada pertengkaran.
"Tris, kalau begini terus, kapan jadinya? Atau sebetulnyan kamu sengaja ngulur-ngulur waktu supaya rencana pernikahan kita gagal?" Suara Didi meninggi, rupanya dia mulai bosan dengan perdebatan yang berkepanjangan.
"Coba jujur, sebenarnya kamu mau enggak aku lamar?"
Tris menatap Didi dengan sorot mata tajam, pipinya membulat, lekuk bibirnya melengkung ke bawah. Tak lama kemudian dia berdiri.
"Aku udah bilang, aku mau kamu lamar, tapi aku enggak mau kamu datang ke Bapak. Aku tinggal sama ibu, jadi ngelamarnya ke Ibu." Suara Tris tak kalah kerasnya dari suara Didi, bahkan jauh lebih melengking sehingga orang-orang yang ada di sekitar pantai, sama-sama duduk di tumpukan batu yang sengaja di pasang untuk mencegah abrasi, bahkan yang tengah berendam di air laut, menoleh ke arah mereka.
"Jangan berisik, malu." Didi memelankan suara sambil meletakkan telunjuk di depssn mulut.
Tris tersadar, dia menoleh ke kiri dan kanan, orang-orang memalingkan wajah seolah-olah tak mendengar dan tak memperhatikan.
Tris menarik lengan Didi, melangkah dari satu bongkahan besar batu ke bongkahan lainnya kemudian melompat turun.
"Mau kemana, Tris?" Didi yang berjalan mengikuti Tri bertanya.
"Pulang!"
"Tris, kita harus selesaikan dulu. Orang tuaku sudah aku minta melamar kamu, mereka selalu bertanya, "Kapan, kapan", pusing jadinya." Didi terus saja bicara walaupun Tris tak memperdulikannya.
Sesampainya di rumah, wajah Tris masih saja cemberut. Dia langsung masuk kamar dan membiarkan Didi salah tingkah sendiri.
"Kenapa dia?" Ibu bertanya pada Didi, yang memang sudah sangat dikenalnya.
"Maaf, Bu. Tris gak mau aku melamarnya ke Bapak, tapi kan yang bisa menikahkan Tris dan aku, Bapak. Tris maunya Bapak gak usah dikasih tau. Saya jadi bingung. Kata orang tua saya, selama Bapak masih ada, maka yang berhak menikahkan anak perempuan hanya Bapaknya," Didi akhirnya menceritakan semua pada Ibu.
Setelah mendengar cerita dari Didi, Ibu menghampiri Tris di kamar. Gadis 23 tahun, pemilik mata bundar dan hidung lancip itu tengah berbaring menelungkup. Kepalanya menghadap ke dinding.
Ibu mengusap punggung anak tunggalnya itu. Ibu sangat paham mengapa Tris tak bisa menerima kenyataan bahwa dia masih punya seorang bapak. Hidupnya terlalu pahit. Tris yang semasa kecil sangat dimanjakan Bapak, tiba-tiba harus kehilangan. Bapak kepincut seorang janda, pemilik motor yang dipakai Bapak ngojeg. Bapak rela meninggalkan keluarga demi memiliki motor, kabarnya Bapak langsung dapat jatah motor baru setelah menikah dengan perempuan itu.
Setelah Bapak tak lagi memperdulikan mereka, Ibu pontang panting mencari nafkah untuk kehidupan mereka berdua. Pagi Ibu pergi ke rumah-rumah tetangga untuk menawarkan tenaganya, terkadang ada yang menyuruhnya mencuci pakaian, ada pula yang minta tolong dimasakkan, tak jarang yang memintanya merapikan rumput di taman. Tri kecil terpaksa di rumah sendirian, paling tetangga sebelah yang kadang-kadang menengok dan memberinya jajanan.
Kehidupan mereka yang susah, tak menghentikan semangat Ibu menyekolahkan Tris hingga akhirnya dia tamat SMK jurusan akuntansi kemudian bekerja di sebuah wedding Organizer sebagai staf keuangan.
"Tris, Ibu ngerti kamu masih marah sama Bapak," Ibu memulai dengan suara lembut.
"Tapi, kamu gak bisa menafikkan bahwa kamu adalah anaknya,"
"Aku gak mau! Aku gak punya Bapak," Tris membalik tubuhnya, sekarang terlentang menghadap Ibu. Air matanya merembes melewati telinga.
"Bapak kan masih hidup, jadi dia yang harus jadi wali,"
"Bapak sudah mati, Bu," Tris kini membelakangi Ibu.
Ibu menarik nafas dalam-dalam, sebelum kembali membujuk anak semata wayangnya.
"Kamu gak bisa nikah kalau gak ada wali,"
"Si Upit, bulan lalu nikah enggak sama Bapaknya," Tris berargumen.
"Itu karena Bapaknya ada di Malaysia."
"Kalau mau, dia kan bisa pulang,"
"Tidak sesederhana itu, Bapaknya Upit harus wajib lapor karena kedapatan menjadi kurir barang terlarang, dia tidak bisa keluar dari Malaysia."
"Tris, satu hal yang tidak bisa kamu tolak, di darahmu ada darah Bapakmu. Kamu anak kandungnya dan dia wajib menjadi wali nikahmu."
Tris tak bersuara, tapi hatinya masih belum bisa menerima semua penjelasan Ibu. Perihnya kehidupan yang dirasakannya selama ini, menyisakan kemarahan yang susah diobati.
@@@@
“Tris, keluargaku akan datang Minggu depan ke rumahmu,” percakapan Didi dan Tris di salah satu sudut warung baso, masih tentang rencana lamaran.
“Ke rumah Ibuku, kan?”
“Ya, sesuai maumu. Lamaran dan acara, semua di rumah Ibu, tapi untuk akad Bapakmu harus datang dan jadi wali,” Didi sangat hati-hati bicara pada Tris. Dia tak mau Tris ngambek lagi.
“Di, kita gak usah nikah aja. Aku tetep gak mau kalau dia yang jadi wali nikahku,”
“Tris, kok gitu, sih? Aku mau nikah sama kamu. Keluargaku semua sudah tau, kalau dibatalkan berarti kamu bener bener pengen mempermalukan aku.”
“Kamu pikir aku gampang ngomong kayak tadi? Tapi kamu maksa aku ngomong kayak gitu. Kamu gak ngerti gimana sakitnya diabaikan, ditinggalkan, dilupakan. Mengapa tiba-tiba saja dia harus menjadi bagian penting dalam hidup aku?” ragu-ragu Didi menyentuh lengan Tri, menenangkannya dengan usapan.
"Tris, kita ini hanya manusia. Hanya berkewajiban menjalani apa yang sudah ada aturannya. Dia, Yang Maha Mengatur ini yang paling tau yang terbaik bagi kita," Tris tak menjawab. Kepalanya masih tertekuk menghadap lantai.
Sementara itu di sudut lain warung baso, tempat mereka saat ini berada, seorang lelaki paruh baya hanya tertunduk menahan sesak, dia tak mampu lagi menelan sesendok kuah baso yang baru disorongkannya ke mulut.
Ditulisnya beberapa baris kalimat di dua lembar kertas nota yang dimintanya dari pedagang baso.
Tris, Bapak minta maaf. Bapak banyak dosa sama kamu. Kalau kamu enggak mau Bapak jadi wali, Bapak ikhlas. Bilang saja sama penghulunya, Bapakmu enggak ada. Bapak tetep doain kamu supaya dapat jodoh yang baik, gak punya adat seperti Bapak.
Di lembar nota ke dua, Lelaki itu menuliskan izinnya untuk menikahkan anaknya. Kalimat yang ditulisnya tidak cukup rapi, tapi lumayan bisa dipahami maksudnya.
Lelaki iu lalu menyelinap keluar lewat pintu samping, setelah membayar semangkuk baso yang ditinggalkannya begitu saja. Kertas nota yang tadi dtulisinya dititipkannya supaya diberikan ke Tris.
Usai membaca surat pendek di atas kertas nota, Tris berdiri dan mencari-cari keberadaan bapaknya, tapi sudah tak tampak. Tris berusaha mengejar ke luar warung baso, juga tak terlihat.
Lamaran itu akhirnya berlangsung juga. Setelah itu Tris dan Didi berusaha menemukan Bapak. Tapi seminggu kemudian mereka dapat kabar ayah Tris meninggal di RS setelah mengalami kecelakaan saat akan menjemput penumpang langganannya.
Pak maafkan Tris. Tris cuman kangen sama Bapak, tapi Bapak gak pernah pulang. Tris kangen dibonceng sepeda sama Bapak, Tris kangen disuapin sama Bapak. Tris kangen Bapak.
Di ujung malam, doa Tris terpanjat, untuk pengampunan atas dosa dosa Bapak.






