Rabu, 22 Juli 2020
Hati yang Mendua #8
Selasa, 21 Juli 2020
Penulisan Kata Depan dan Awalan ke dan di
Partikel di dan ke memiliki dua fungsi dalam sebuah teks, bisa berkedudukan sebagai kata depan dapat pula berperan sebagai awalan.
Penulisan kedua partikel tersebut dibedakan berdasarkan fungsinya. Sebagai kata depan dipisah dari kata yang diikuti sedangkan sebagai awalan digabung dengan kata dasarnya.
Perhatikan contoh berikut:
Penuliaan di dan ke sebagai kata depan
1. Sejak setahun yang lalu kami pindah ke kota ini.
2. Letakkan buku ini di atas meja!
3. Kucing itu bersembunyi di dalam lemari.
Perhatikan penulisan kata di dan ke yang dicetak tebal. Penulisannya terpisah dari kata yang diikuti. Perhatikan pula jenis kata yang diikutinya, yaitu kata yang menunjukkan tempat, lokasi, atau posisi.
Ke atas
Ke bawah
Ke hutan
Ke warung
Di langit
Di bumi
Di Indonesia
Di keheningan malam
Di sini
Di sana
dst
Selanjutnya, perhatikan penggunaan ke dan di sebagai awalan.
Selain berfungsi sebagai kata depan, ke dan di juga berfungsi sebagai awalan.
Awalan di berfungsi membentuk kalimat pasif.
Contoh:
Kalimat aktif
Mereka membangun jembatan gantung.
Bila diubah menjadi kalimat pasif akan menjadi:
Jembatan gantung dibangun oleh mereka. Fungsi di pada kalimat di atas mengubah kalimat aktif menjadi kalimat pasif. Objek yang semula di akhir kalimat (jembatan) menjadi awal kalimat. Penulisan di pada kasus ini digabungkan dengan kata dasarnya (bangun menjadi dibangun).
Awalan ke berfungsi sebagai pembentuk kata benda.
Contoh:
Jujur menjadi kejujuran
Sepi menjadi kesepian
Tidur menjadi ketiduran
Lalai menjadi kelalaian
Ribut menjadi keributan
Penulisan di dan ke pada dua peran di atas harus digabung dengan kata dasar.
Contoh dalam kalimat:
Sejak ibunya meninggal, dia kesepian.
Buku pelajaran diperlukan sebagai sumber belajar.
Tikus itu dikejar oleh kucing.
Demikian uraian ringkas tentang fungsi ke dan di dalam kalimat serta penulisannya. Semoga bermanfaat.
Yang Tak Pernah Hilang #3
Sabtu, 18 Juli 2020
Ciri Kebahasaan Teks Berita
Teks
berita, dalam penyajiannya memiliki aturan
atau kaidah yang agak berbeda dengan teks lain. Kaidah yang dimaksud
terdiri atas,
1. Penggunaan bahasa baku
2. Penggunaan verba transsitif
3. Penggunaan verba pewarta
4. Penggunaan kata keterangan waktu dan tempat
5. Penggunaan konjungsi temporal atau waktu
6. Perpaduan anatara kalimat langsung dan
taklangsun
1.
Penggunaan Bahasa Baku
Bahasa yang digunakan dalam teks
berita adalah kata-kata baku, bukan kata-kata yang digunakan seharai-hari,
yaitu kata yang sesuai dengan Ejaan Bahasa Indonesia dan terdapat dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Walaupun, teks berita menggunakan bahasa baku, tetapi
tetap harus luwes dan mudah dipahami.
2.
Penggunaan Verba Transitif
Verba transitif adalah kata kerja yang
dapat diubah ke dalam bentuk pasif.
Contoh kata kerja aktif yang berubah
menjadi pasif.
Banyak yang melanggar aturan jaga jarak sosial. (Ini merupakan kalimat aktif
karena kata kerja yang digunakan, yaitu kata melanggar membutuhkan objek.)
Dalam bentuk pasif kalimat tersebut menjadi
Aturan jaga jarak sosial banyak dilanggar .
(kata dilanggar merupakan kata kerja transitif)
3. Penggunaan Verba Pewarta
Dalam teks berita, penulis dapat pula
menggunakan kata kerja pewarta, yaitu kata kerja yang memuat sebuah percakapan.
4.
Penggunaan Keterangan Tempat dan Waku (Adverbia)
Dalam teks berita, keterangan diperlukan
untuk menjawab unsur ‘kapan’ dan ‘di mana’
5. Penggunaan
Konjungsi (kata hubung) Temporal.
Teks
tak dapat lepas dari penggunaan kata hubung, dalam teks berita kata hubung yang
banyak digunakan adalah kata hubung yang menunjukkan rentetan peristiwa,
misalnya kata hubung selanjutnya, kemudian, setelah itu dan lainnya.
6.
Perpaduan
antara Kalimat Langsung dan Kalimat Taklangsung.
Dalam teks
berita, pewarta biasanya mengutip kalimat yang disampaikan oleh narasumber.
Kalimat ini terkadang diolah menjadi kalimat tak langsung. Namun demikian,
kalimat langsung dapat pula digunakan dalam teks berita bersama-sama dengan
kalimat taklangsung.
Kamis, 16 Juli 2020
Yang Tak Pernah Hilang #2

Cerita dari Rio bagian #2:
“Hari ini kapal badak datang,” seorang kawan mengabari. Kedatangan kapal badak menjadi kebahagiaan tersendiri bagi kami yang berminggu-minggu hanya hidup berlima. Selain membawa segala kebutuhan pokok, kapal badak juga menjadi penghubung kami dengan dunia luar. Tak ada yang lain. Tak ada radio, tak ada televisi, apalagi telepon. Alat komunikasi kami satu-satunya hanya pesawat transmitter untuk melapor ke kantor .
Pukul 5 sore kapal mendarat di dermaga, tiga sosok terlihat turun dari kapal dan berjalan di atas jembatan kayu sepanjang 50 meter yang menghubungkan kapal dengan daratan, masing-masing membawa sebuah kardus besar. Aku dan yang lainnya menghampiri untuk membantu menurunkan isi kapal yang akan menjadi bekal untuk tiga minggu ke depan.
“Ada titipan?” Aku bertanya pada Trisno, salah seorang di antara mereka yang baru datang.
“Ada dalam ransel, masih di kapal,” jawabnya dengan senyum penuh arti. Jantungku berdebar tak karuan, bahagia. Rasanya ingin kutarik Trisno supaya kembali ke kapal dan mengambilkan titipan itu untukku. Tapi aku tak mau jadi bahan tertawaan. Aku memang harus bersabar sampai semua isi kapal selesai diturunkan.
Aku kembali mendekati Trisno, setelah berkumpul di posko.
“Mana?” Trisno menurunkan ransel berwarna coklat yang tergantung di punggungnya lalu mengeluarkan sebuah amplop putih dan menyerahkannya padaku.
“ini!, sudah rindu berat, ya? Baru juga tiga minggu . Seminggu lalu dia ke kantor dan menitipkan ini.”
“Ke kantor?”
“Iya, rindu memang bikin orang nekad,” Trisno tertawa, tapi aku tak perduli. Aku hanya ingin segera ke kamar dan membaca surat yang sekarang sudah ada di saku celanaku.
Surat dari Eka, berisi curahan hatinya, tentang rindu dan rasa cinta, juga tentang kecemasan dan ketakutan. Berulang-ulang kubaca tulisan tangannya sampai aku hafal isinya, bahkan letak titik dan komanya.
“Rio...!” Suara memanggil namaku diiringi ketukan di pintu kamar, memaksaku membuka mata. Masih terasa berat karena aku baru tertidur menjelang dini hari.
“Rio!” Panggilan itu terdengar lagi, kali ini lebih keras. Kutajamkan telinga untuk mengenali pemilik suara. Aku melompat dan langsung membuka pintu saat aku sadari itu suara Trisno.
“Sebentar... jangan berangkat dulu! Setengah jam saja, tolong... tunggu sebentar!” Aku meninggakannya yang masih tetap berdiri di depan pintu. Aku harus mengirim kabar pada Eka, kalau tidak sekarang harus menunggu tiga minggu lagi, itu terlalu lama. Aku mencari kertas yang bisa kupakai untuk menulis surat, tapi tak ada. Aku semakin panik, di luar suara mesin kapal sudah dinyalakan.
“Gak usah panik, saya tunggu. Pakai ini saja.” Trisno menyerahkan buku tulis yang biasa digunakannya mencatat pesanan kami. Tanpa pikir panjang aku terima buku itu dan melepas lembaran kertas yang paling tengah.
Sekali lagi aku merasakan suasana ini, melihat kapal yang meninggalkan dermaga. Pulau yang sejak kemarin lumayan agak ramai dengan tambahan tiga orang penghuni, kini kembali sepi. Kami kembali berlima di tengah belantara.

Cerita dari Eka bagian 2
Jalan yang aku lintasi, masih rute yang sama. Dari arah pasar lurus menuju Mesjid Agung dan sampailah di pertigaan tempat aku dan dia selalu berusaha berada di situ di waktu yang sama. Tapi, keadaan sudah berbeda. Tak ada yang menyetop beca yang aku tumpangi hanya untuk sekadar berucap kata rindu. Beca berbelok ke jalan A. Yani menuju ke sekolah. Saat melintas di depan rumahnya, dadaku berdesir, aku berharap dia ada di situ, duduk di teras rumahnya, saat melihatku segera berdiri dan menghampiri. Rindu memang membuat logika tak lagi bekerja.
Beca kuminta berhenti. Menunggu sesaat sampai sosok itu telah berdiri di samping becak yang kutumpangi.
"Ada titipan, tadi Pak Trisno menyuruh saya menunggu di sini," semburat hangat menerpa wajahku, bahagia. Setidaknya aku punya penawar atas rindu yang menyiksa.
@@@
Menunggu kedatangan suratnya, yang hanya datang setiap tiga minggu, membuat rindu seperti gunung es yang semakin tinggi, semakin besar, dan semakin berat. Tapi cintaku semakin indah. Walau bertemu menjadi hal yang sangat mahal. Dalam cinta ternyata tak jelas lagi batas bahagia dan derita. Aku menjalani keduanya dalam waktu bersamaan.
"Masih mau sekolah?" Pertanyaannya membuat aku terperangah lalu tertunduk tanpa berani menatapnya.
"Kalau ya, sekolah di Bandung, kalau tidak mau, berhenti saja." Aku semakin menenggelamkan kepalaku, tertunduk menyembunyikan air mata yang kian menderas. Ayah meninggalkanku tetap dalam posisi tak berdaya.
Rio dan Eka harus berpisah, mereka berharap bisa mewujudkan semua harapan dengan terlebih dahulu mengalah. Mengurangi konflik, mungkin bisa jadi jalan keluar. Rio memilih menyepi di hutan, dan Eka menuruti kehendak orang tuanya, pindah kota.
Besok Eka akan berangkat ke Bandung. Kegelisahan menyergapnya. Rio harus tahu, tapi bagaimana caranya? Dia masih di pulau. Eka membolak balikkan badannya yang tengah berbaring di tempat tidur. Tak tahu harus berbuat apa. Sesekali dia duduk di sisi tempat tidur, juga tanpa melakukan apa-apa.
Bersambung.
Selasa, 14 Juli 2020
Hati yang Mendua #7
"Ay, jalan, yuk! Aku sudah di depan rumah," Aini menjulurkan kepalanya, melihat ke luar melalui jendela kamar. Ami tengah mendorong motornya melintasi pagar.
Aini segera menghampiri.
"Kamu gak lagi sibuk kan?" Tanya Ami sambil mendudukkan tubuhnya di kursi teras.
"Sekarang sih enggak, tapi jam 11 nanti ada janji sama Fitri. Dia minta anter belanja pakaian dan keperluan melahirkan."
"Gak bisa dibatalin atau diundur sampai besok? Atau sore? Kita jalan ke yang deket aja," kali ini Ami sedikit memaksa,Aini merasakan itu.
"Mau ke mana sih? Gak bisa besok-besok? Kan cuman jalan-jalan."
"Nah, kamu aja yang besok! " Ami tak mau mengalah. Aini terkejut. Sejak dulu Ami tak pernah memaksa, ini kali pertama.
Aini tak membantah lagi. Ami pun memilih diam kepalanya menunduk menatap lantai, tanpa berkata apa pun.
Ani tak tahan dengan kebekuan yang terjadi
"Oke, kita pergi," Aini menyerah. Ami mengangkat wajah, tapi ekspresinya masih menyisakan kegusaran.
"Sudah males, aku mau pulang,"
"Mi, kok gitu sih?" Ani merasa tak enak hati.
"Kita pergi sekarang, aku sudah kabari Fitri dan dia setuju untuk belanja besok."
Ami sudah bangkit dari tempat duduknya, suara gesekan kaki kursi ke lantai menandakan dia bangun dengan sedikit menghentakkan tubuh. Dia masih gusar.
"Mi, maaf. Aku gak maksud..."
"Entahlah, Ay... Aku pulang." Ami tak menunggu persetujuan Aini, dia langsung melangkah menuju motornya yang terparkir di dekat pintu pagar.
Aini terdiam. Dia terkejut dengan sikap Ami, selama ini, jika kesal, Ami tak pernah bertingkah seperti ini. Aini mengejar Ami lalu berjalan di sampingnya, tapi Ami tak mempedulikan. Ami menganggapnya tak ada. Aini semakin salah tingkah.
Bersambung
Yang Tak Pernah Hilang
Unggulan
Cerita dari Masa Lalu #2
Klik untuk membaca bagian sebelumnya Ekspresi kecewa, jelas terlukis di wajah Resti. Menelpon balik? Resti menghilangkan kemungkinan itu....
-
Pertama kali memandangmu Pertama kali mengenalmu Pertama kali menyentuhmu Bergetar jiwaku Sangat berkesan di hatiku Tibalah saat ...
-
Bagian sebelumnya Cerita dari Rio bagian #2: “Hari ini kapal badak datang,” seorang kawan mengabari. Kedatangan kapal badak menjadi kebahagi...
-
Bagian sebelumnya “Ay, kali ini kamu harus dateng!” Vina berusaha mengintimidasi. “sudah tiga kali pertemuan kamu gak pernah ikut, anak-anak...




