Jumat, 24 Juli 2020

Hati yang Mendua #9


      
Ami menghentikan laju motornya di depan rumah Aini kemudian menarik mundur memasuki pintu pagar. Dia meninggalkan motornya tepat di balik pagar, menghadap ke jalan, tampaknya dia tak berniat berlama-lama di rumah Aini.
Dari dalam rumah, lewat jendela bertirai putih, Aini memperhatikan gerak gerik Ami. Ada rasa tak nyaman ketika menyadari Ami tak menyimpan motornya di tempat biasa di dekat pohon palem merah yang tak jauh dari teras. Ami masih marah, batinnya.

Ami hendak mengetuk pintu, tapi Aini sudah muncul.
"Assalamualaikum," Aini lebih dahulu menyapa. Ami menjawab salam seraya langsung duduk di kursi teras.
Ketika Aini pamit ke dalam untuk membuatkan minum, Ami mencegahnya.
"Gak usah, aku gak lama," suara Ami kaku dan dingin.
Dada Aini tiba-tiba sesak. Ini pertama kali dia menghadapi sikap Ami yang seperti ini. Aini bergemin, mematung di tempatnya berdiri. Dia tak berani membayangkan apa yang sesaat lagi akan terjadi.

"Ay, kenapa berdiri aja, kamu gak suka aku di sini? Oke aku pulang,"
Kata-kata Ami membuat Aini tak nyaman, dia segera duduk, dadanya sesak, susah payah dia menahan embun di matanya agar jangan berubah menjadi butiran dan menetes.
"Bukan, bukan begitu... Aku cuman..."
"Cuman apa?" Ami memotong dengan cepat. Aini semakin terpojok, dia tak mampu bicara.
"Begini ya, Ay... aku ini gak ada bedanya dengan laki-laki yang lain. Aku bisa tersinggung, kecewa, atau marah. Sekarang aku ngerasa kamu gak jujur. Aku enggak suka itu." Ami menahan bicaranya. Mengatur nafas agar bisa lebih mengontrol emosi.
"Aku bener-bener gak ngerti, Ay." Suara Ami meninggi, walau dia tetap berusaha agar tak sampai berteriak. Aini mengangkat wajah yang sedari tadi hanya menghadap ke lantai. Dia tak yakin itu suara Amin.
"Aku minta maaf,"
"Maaf untuk apa, Ay? Aku enggak ngerti! Aku enggak tahu apa yang sebenarnya terjadi, yang aku mau, kamu jujur! Jadi aku tahu harus bagaimana."
Aini tetap bungkam, tapi embun di matanya sudah berubah menjadi butiran yang bergulir di atas pipi cabinya.

Isakan Aini tak mempengaruhi Ami. Dia memandang lurus ke arah jalan raya, tak berusaha membujuk Aini. Air mukanya tetap dingin.

Cuaca sore yang memang panas karena tak jadi hujan, rasanya semakin membakar.
"Sudah siap untuk jujur?" Ami menoleh ke arah Aini.
Lagi-lagi Aini tak menjawab. Mana mungkin aku jujur soal ini, soal hatiku yang ambigu.
"Kalau sekarang kamu belum mau menjelaskan, besok aku kembali. Maaf aku menyusahkanmu, tapi aku tak suka kamu seperti ini." Ami tak menunggu jawaban Aini, dia sudah berdiri dan melangkah menuju motornya yang terparkir di depan pagar. Aini hanya memandang punggungnya tanpa berdaya untuk mencegah.

Ani berlari ke kamar, menghempaskan diri di atas tempat tidur. Tubuhnya menelungkup dengan dua tangan terlipat menyangga kepala. Bahunya naik turun. Sedari tadi dadanya sakit, kini dilepaskannya semua rasa tertekan itu dengan tangisan.

Tuhan mengapa aku harus terperangkap dalam keadaan ini? Sedari dulu aku menyukainya, mengapa dia datang di saat aku telah menerima Ami di hatiku. Aku tak mungkin meninggalkan Ami begitu saja. Dia terlalu baik dan tak pantas disakiti. Pikiran Aini melompat-lompat di antara Ridho dan Ami.

Menjelang Asar, Aini baru keluar dari kamar, matanya sembab, padahal sebelumnya dia sudah gunakan pelembab dan pewarna mata warna agak gelap untuk menutupi agar Ibu tak melihat dan bertanya. Aini terlalu sadar bahwa yang dilakukannya bukan hal benar. Dia tak akan sanggup menceritakan semuanya pada Ibu. Membayangkan reaksi Ibu saja, Aini tak berani.
Mendua hati, bukan keinginanya. Tapi rasa itu datang tiba-tiba. Aini hanya ingin mewujudkan mimpi, tetapi mimpi itu datang tak tepat waktu.
Bersambung







Yang Tak Pernah Hilang #4


Kedatangan suratnya yang mengabarkan akan pulang, menggerakkanku segera berkemas. Besok aku akan ikut berlayar, pulang. Malam terasa sangat panjang, aku seperti bocah kecil yang dijanjikan mainan baru ketika bangun pagi besok, gelisah, tak bisa tidur. Enam bulan bukan waktu sebentar untuk merindukannya. Sekarang saatnya untuk bertemu.

Pukul 10.00 Kapal Badak meninggalkan dermaga.Perjalanan empat jam setengah segera dimulai. Sebentar lagi kami akan melintasi pulau-pulau kecil yang menawarkan keindahannya. Pulau Handeuleum sudah mulai terlihat. Pulau yang hampir seluruh permukaannya ditutupi pohon bakau/mangrove sungguh pemandangan yang mempesona. Dominasi warna hijau di tengah birunya laut. Di sisi luar pulau,  pasir putih tampak berkilau.

Lagi-lagi anganku melayang padanya. Seandainya dia kini berada di sini, bersama menikmati semua keindahan alam ini. Aku membayangkannya duduk di bagian depan kapal, dia mencoba menyentuh buih di permukaan air laut. 
"Hati-hati. Awas jatuh!" kata-kata itu terlontar begitu saja.
"Ada apa?" suara ABK yang duduk di sampingku membuatku kaget. Dia mengikuti arah pandanganku kemudian kembali melihat ke arahku.
"Jangan melamun. Ini di tengah laut!" ucapnya kemudian. Aku hanya mengangguk mengiyakan.
@@@@
Pertemuan yang telah kutunggu sekian lama, ternyata tak segera bisa terwujud, masih harus mencari saat yang tepat. Kami berada di kota yang sama, tapi belum juga bisa bertemu, sungguh sesuatu yang rasanya bodoh. Terkadang aku ingin nekad mendatangi rumahnya, berkata jujur pada keluarganya bahwa kami saling mencintai, tapi dia selalu melarangku melakukan itu. Aku tak bisa memaksa, dia tentu punya alasan dengan semua sikapnya.

Hari ketiga, akhirnya dia muncul. Aku tak lagi melihat dia sebagai bocah, yang entah kenapa aku mencintainya, kini dia tampak lebih dewasa.
"Apa kabar?" sapanya, menurutku dia terlalu formal dengan pertanyaannya.
"Alhamdulillah, yang pasti sih kabarku, sedang rindu." Dia tertawa kecil sambil mengalihkan pandang, menyembunyikan rona merah di wajahnya.
"Kamu juga rindu, kan?" lanjutku menggodanya. Kali ini dia tak menjawab. Dia mendekat dan duduk di sampingku.

Bersama dengannya waktu seolah bergerak terlalu cepat. Berbagi cerita tentang hari-hari di tempat yang baru dan sesekali saling mengajuk hati menjadi terlalu indah untuk diungkapkan. 

Seharusnya Eka sudah pulang satu jam yang lalu, tapi hujan deras menahannya. Dia masih di sini bersamaku. Dia gelisah, mungkin lebih tepatnya, dia takut.
"Aku pulang sekarang saja," tiba-tiba dia berdiri dan hendak beranjak, aku menahannya. Di luar hujan sangat deras, Aku tak bisa membiarkannya bermandi hujan.
"Aku takut. Sudah jam sepuluh lewat," suaranya mulai gemetar. Di luar hujan belum juga mereda. Tapi, wajahnya yang pucat dan kepanikan yang terlihat pada sikapnya, membuatku berubah pikiran. Akhirnya kami nekad berjalan di tengah hujan hanya dengan sebuah payung.

Sepanjang jalan, Eka bungkam. Aku tahu dia tentu sangat cemas bagaimana menghadapi keluarganya nanti. 
"Aku antar sampai rumah, ya? Kita hadapi bersama kemarahan orang tuamu," Aku merasa bersalah dan kurasa aku harus bertanggung jawab. Dia tak harus menghadapinya sendiri.
"Gak usah, tidak akan menjadi lebih baik. Mungkin malah akan membuat mereka semakin marah." jawabnya dengan cepat.
Aku tak tahu lagi bagaimana melindunginya. Seratus meter menjelang sampai ke rumahnya, Eka mempercepat langkah dan meninggalkanku, hujan deras mengguyur tubuhnya, Aku tak berusaha mengejar karena  itu yang dia inginkan. Di tempatku berdiri, aku hanya bisa membayangkan, apa yang tengah dihadapinya sekarang.
@@@
Cerita dari Eka

Satu semester hanya terhubung lewat beberapa helai surat, sungguh tak menyenangkan. Hari ini aku pulang. Sejak mengetahui jadwal libur semester,  aku sudah mengabari Rio. Mudah-mudahan saja surat itu sampai sebelum liburan habis. 
Aku tak tahu pasti, dia akan pulang atau tidak. sungguh dalam ketakpastian itu sangat tak menyenangkan.

"Kapal baru berangkat ke pulau kemarin  siang, sore ini kalau tidak ada halangan, datang," kabar ini aku terima dari salah seorang teman kerjanya.
"Rio ikut pulang?" aku tak menahan diri untuk menanyakan, sayangnya aku tak mendapat jawaban pasti. Menunggu sore saja, rasanya sangat lama, walau akhirnya yang kuterima adalah kabar yang aku inginkan.

Pagi-pagi aku sudah bersiap untuk menemuinya, tapi entah mengapa, ada saja penghalang untuk itu. Bahkan kunci vespa yang biasa kukendarai, entah dimana letaknya. 

Liburku hanya tinggal tiga hari lagi, kami belum juga bertemu.
Sore ini, akhirnya dewa penolongku datang.
"Mau kemana?" Ibu langsung bertanya saat melihatku berganti pakaian.
"Mau rapat. Persiapan halal bihalal, " jawabku sekenanya sambil memberi kode kepada temanku, dewa penolongku untuk mengiyakan. Nyaris wajah polosnya membongkar kebohonganku, untungnya luput dari perhatian Ibu.

Kami naik beca yang sama ke arah gedung pertemuan, tempat rapat-rapat kegiatan remaja dilakukan, tapi 200 meter dari rumah, kami berpisah. Aku pindah ke beca lain dan ke arah yang lain. Saatnya membayar semua waktu yang lewat dengan rasa rindu.
"Apa kabar?" Mengapa pertanyaan konyol ini yang terucap. Aku merutuki diri.  ternyata rindu yang terlalu lama bisa membuat orang kehilangan kosa kata, sementara dia hanya menatapku karena pertanyaan aneh itu. Aku semakin gugup.

Bersamanya, bagiku waktu  seperti roket yang meluncur sangat cepat. Tak kusadari  ternyata sudah pukul 10 malam.   Aku mulai panik, entah apa yang akan aku hadapi sampai di rumah nanti. Rio kranya menyadari kepanikanku, dia  bersiap mengantarku pulang, tapi tiba-tiba hujan turun sangat deras. Tapi, aku tak peduli, aku tetap harus pulang. 

Ketakutanku memaksa kami berjalan menembus hujan, Hanya sebuah payung hitam yang melindungi tubuh. Dingin menyergap tak kuhiraukan, seharusnya ini menjadi momen indah, nyatanya pikiranku terus saja dibayangi kemarahan Ayah yang akan kuhadapi di rumah nanti.

Sebelum sampai, aku meminta Rio pulang. Aku tak mau dia mengantarku sampai ke rumah. Aku tahu sebesar apa kemarahan yang akan aku terima, Rio tak perlu tahu. Aku juga tak mau semuanya semakin rumit. 

Di depan pintu kakiku gemetar. perlahan kudorong daun pintu, tak terkunci. Aku melangkah masuk dengan jantung berdebar kencang.Tuhan tolong aku. yang kemudian kuhadapi tepat seperti dugaanku.  Aku menghadapinya dengan diam tanpa berusaha membela diri. 
@@@

Penulis

Rindu Eka dan Rio, adalah rindu berbalut luka
Rindu terlarang yang nyatanya tak pernah hilang
Yang menjadi merah dalam darah
Yang mengalir bersama hirupan nafas
Mewujud puisi bertinta air mata
Haruskah mengalah? atau memang ditakdirkan kalah?









Rabu, 22 Juli 2020

Hati yang Mendua #8



Honda Brio berwarna silver melaju menuju ibu kota kabupaten. Ridho menyetir dengan tenang. Disampingnya Fitri terus bercerita tentang hal-hal menakjubkan yang dialaminya selama hamil, Aini duduk di jok belakang serius menyimak. Ridho dan Aini sesekali beradu tatap lewat kaca spion. Dada Aini selalu berdesir setiap itu terjadi. 
“Kamu mau belanja di mana?” Ridho mengurangi kecepatan.
“Enaknya ke mana ya, Ay?” Fitri malah melempar pertanyaan ke arah Aini. 
“Aku malah gak ngerti. Mana aku tahu tempat belanja perlengkapan bayi, kan belum pengalaman.”
“Kita ke Mall aja, pasti di situ lengkap,” tanpa menunggu persetujuan, Ridho  kembali menginjak pedal gas dan membelokkan setir ke jalan RE. Martadinata kemudian masuk ke halaman parkir sebuah Mall. 

Fitri sibuk memilih berbagai perlengkapan bayi, Aini dan Ridho sesekali dimintainya pendapat. Mereka berdua malah lebih sering saling pandang karena tak mengerti. 
“Seharusnya kamu ajak Mamamu juga, kita bertiga kan sama-sama enggak ngerti harus nyiapin apa aja,” ujar Aini di sela tawanya. 
“Makanya, Ay, kamu cepet nikah. Nanti kita belanja bareng, terus kita beli baju baju yang sama,” 
“Memangnya kalau aku nikah, terus kita pasti hamil bareng, ngaco aja kamu.”
“Eh, katanya kamu pacaran sama guru juga, ya?” pertanyaan Fitri membuat wajah  Aini memucat. Dia harus jawab apa? Bilang iya, lalu Ridho berlalu atau berbohong bilang tak punya pacar?” 
“ Bener itu, Ay?” Ridho malah ikut bertanya. Aini semakin bungkam. 
“Fit, kamu gak beli kereta bayi, tuh ada di pojok sana, bagus-bagus warnanya,” 
Aini mengalihkan topik pembicaan dia menarik lengan fitri ke salah satu pojok, Ridho mengikuti mereka.

“Ay, Kok pertanyaan tadi gak dijawab? Kamu memang sedang menjalin hubungan dengan seseorang?” 
Dalam kendaraan, Ridho kembali menanyakan hal itu dan Aini belum punya kalimat yang tepat untuk menjawab. Tiba-tiba saja sikap Ridho menjadi kaku, dia asik sendiri bersenandung mengikuti lagu-lagu dari sebuah stasiun radio. Aini merasa tak enak hati. Perjalanan pulang menjadi tak menyenangkan.
 @@@

Sudah hampir dua minggu Ami tak menemui Aini. Ada banyak pertanyaan yang mengganggu, sekaligus membuatnya kecewa.
Ami merasa sikap Aini  berubah. Aini tak bahagia saat bersamanya dan Ami yakin ada sesuatul yang terjadi. Ami kecewa Aini tak lagi jujur padanya. 

Dia bukan seperti Aini yang selama ini kukenal, batinnya. Aku harus mendapat jawabannya hari ini. Dia harus menjelaskannya atau semua harus berakhir. 

Sebuah keputusan telah dibuat. Ami bukan tipe orang yang mau menunggu untuk sebuah kepastian. Segera diraihnya kunci motor yang tergeletak di atas meja televisi. Setelah berpamitan, Ami melaju kencang menuju rumah Aini.



Selasa, 21 Juli 2020

Penulisan Kata Depan dan Awalan ke dan di


Partikel di dan ke memiliki dua fungsi dalam sebuah teks, bisa berkedudukan sebagai kata depan dapat pula berperan sebagai awalan.
Penulisan kedua partikel tersebut dibedakan berdasarkan fungsinya. Sebagai kata depan dipisah dari kata yang diikuti sedangkan sebagai awalan digabung dengan kata dasarnya.
Perhatikan contoh berikut:
Penuliaan di dan ke sebagai kata depan
1. Sejak setahun yang lalu kami pindah ke kota ini.
2. Letakkan buku ini di atas meja!
3. Kucing itu bersembunyi di dalam lemari.
Perhatikan penulisan kata di dan ke yang dicetak tebal. Penulisannya terpisah dari kata yang diikuti. Perhatikan pula jenis kata yang diikutinya, yaitu kata yang menunjukkan tempat, lokasi, atau posisi.
Ke atas
Ke bawah
Ke hutan
Ke warung
Di langit
Di bumi
Di Indonesia
Di keheningan malam
Di sini
Di sana
dst
Selanjutnya, perhatikan penggunaan ke dan di sebagai awalan.
Selain berfungsi sebagai kata depan, ke dan di juga berfungsi sebagai awalan.
Awalan di berfungsi membentuk kalimat pasif.
Contoh:
Kalimat aktif
Mereka membangun jembatan gantung.
Bila diubah menjadi kalimat pasif akan menjadi:
Jembatan gantung dibangun oleh mereka. Fungsi di pada kalimat di atas mengubah kalimat aktif menjadi kalimat pasif. Objek yang semula di akhir kalimat (jembatan) menjadi awal kalimat. Penulisan di pada kasus ini digabungkan dengan kata dasarnya (bangun menjadi dibangun).

Awalan ke berfungsi sebagai pembentuk kata benda.
Contoh:
Jujur menjadi kejujuran
Sepi menjadi kesepian
Tidur menjadi ketiduran
Lalai menjadi kelalaian
Ribut menjadi keributan

Penulisan di dan ke pada dua peran di atas harus digabung dengan kata dasar.
Contoh dalam kalimat:
Sejak ibunya meninggal, dia kesepian.
Buku pelajaran diperlukan sebagai sumber belajar.
Tikus itu dikejar oleh kucing.

Demikian uraian ringkas tentang fungsi ke dan di dalam kalimat serta penulisannya. Semoga bermanfaat.





Yang Tak Pernah Hilang #3


 
Cerita dari Rio 3

Malam kembali memelukku dalam dingin belantara hutan lindung Taman Nasional Ujung Kulon, tepatnya di Pulau Peucang.  Serangga malam mulai  memperdengarkan suranya. Satwa liar yang menginjak daun daun kering di halaman tempat kami beristirahat, juga tak lagi membuatku cemas. Aku mulai terbiasa dengan semuanya. 
Rasa lelah membuatku ingin segera berbaring dan lelap. Tapi, entah mengapa, malam ini ternyata ada yang tak biasa, aku  mendengar suara  aneh yang menakutkan,  seperti suara teriakan-teriakan di tengah pesta orang pedalaman.  Suara yang membuatku membayangkan  gerombolan makhluk halus, mungkin sejenis jombi tengah berpesta di tengah hutan.  Kutarik selimut dan membalut seluruh tubuh agar suara-suara aneh tak lagi terdengar, tapi bukan hilang malah  semakin terasa dekat.
Bulu kudukku  meremang. Aku menutup telinga dengan kedua tangan, masih saja terdengar. Entah sudah berapa banyak doa yang aku rapalkan untuk mengusir rasa takut, tapi suara suara aneh itu tak juga hilang. Di puncak rasa takut, kusingkirkan selimut, bangkit, dan melangkah ke luar kamar. Berbekal lampu senter kecil aku melihat ke luar jendela kaca dengan menyibakkan tirai yang menghalangi pandangan. 
Berpasang mata bergerak kian kemari, cahaya lampu senter yang kecil  membuatku tak dapat mengenali dengan  jelas bagian lainnya. Tanganku gemetar. Senter yang ada di tangan nyaris terjatuh ketika sepasang mata terlihat mendekat, semakin dekat. Jantungku berdegup semakin keras membayangkan pemilik mata itu melompat ke arahku. Aku bergidik.
"Ada apa?" Suara Topan yang tiba-tiba sudah ada di belakangku, membuatku hampir terlonjak.
"Eh, itu, Ada suara-suara aneh di luar!"
"Suara apa?"
"Entahlah, hanya matanya yang kelihatan,"
Topan menjenguk ke luar jendela, setelah itu yang terdengar hanya suara tertawanya.
Aku malah jadi bingung.
"Itu sekawanan rusa, suaranya memang begitu," penjelasan Topan membuat aku malah ikut tertawa.
@@@@

Cerita dari Eka #3

Sebagai anak yang berasal dari kota kecil, aku perlu berjuang lebih keras agar tak terlihat culun dan norak. Tapi, karena sebelumnya selalu menjadi siswa yang sangat dekat dengan guru, mendapat perhatian lebih, dan  merasa diistimewakan membuatku jadi tertekan. Di sini aku merasa sendiri. Tak ada yang mengenalku, tak ada yang tahu semua jejakku, apalagi prestasiku. Aku tak suka suasana ini. 
Satu semester  aku jalani masih dengan perasaan gamang.  Semua belum normal dalam pikiranku. Sebagai anak berseragam putih abu, seharusnya ini adalah  masa terindah. Kenyataannya, hidupku menyimpan duka dan kecewa.
Hari inilah kejatuhan terparahku.  Aku tak percaya pada pandanganku. Nilai yang tercantum di raporku sungguh memalukan. Aku seolah melihat masa depan yang aku angankan menguap. 
Mana mungkin, aku yang dulu pernah menjadi juara umum, kini mendapati nilai 5,5 pada pelajaran yang menentukan jurusan yang juga akan menentukan arah masa depanku. Aku terlempar ke jurusan yang tak sesuai dengan cita-citaku.  
"Mana rapornya? Coba lihat!" Kaka menyambut kepulanganku, "Sesuai target?" lanjutnya lagi. Tanpa satu pun kujawab. Aku menyerahkan rapor dan segera berlalu . Tak menunggu lama Kaka sudah  menyusul ke kamar.
"Kenapa bisa begini? Kamu pasti tidak fokus sekolah. Kalau Ayah tahu, dia pasti kecewa," dan serentetan nasihat harus aku dengarkan tanpa berusaha membela diri. 
Selanjutnya, Kaka meninggalkanku dan pergi entah kemana.  Tak lebih dari satu jam, Kaka sudah kembali lagi. 
"Kamu bisa pindah jurusan, semester depan sekolah pagi sore. Di kelas sore hanya belajar mata pelajaran jurusan. Ulangan umum semester depan ikut di dua jurusan, kalau nilai kamu bagus, baru bisa pindah di kelas dua nanti," Aku yang mendengar penjelasan Kaka hanya bisa mengiyakan. Setidaknya aku masih punya kesempatan untuk membuktikan bahwa aku mampu. 
Yang kemudian aku kerjakan adalah berkemas, saatnya pulang, saatnya bertemu Rio.  Tiba-tiba segala beban sirna tak bersisa.
@@@

Penulis 

Dua anak manusia yang punya cinta, tapi tak mampu melawan kenyataan.  Membiarkan rindu bersemayam dalam hati, menanti saat bisa bertemu dan ungkapkan segala  rasa.
Eka hanya memperhatikan saja tingkah beberapa teman sekelasnya yang tengah bergurau, kebanyakan mereka memang telah saling mengenal. Ada yang pernah satu sekolah di SD, ada juga teman SMP. Anak-anak dari luar kota, seperti dirinya, umumnya masih terlihat canggung dan berhati-hati. 
Sesekali ada yang menghampiri dan bertanya  beberapa hal tentang dirinya. Eka menjawab sekadarnya saja. Dia tak tampak berusaha segera berakrab-akrab dengan mereka. Eka tak mau terdengar aneh. Intonansi Bahasa Sunda yang dikuasainya berbeda dengan Bahasa Sunda mereka. 
Terbiasa dianggap penting, remaja ini seolah kehilangan pijakan. Di sini dia merasa tak diperdulikan. Semua asing. Bahkan saat dia tahu di sekolahnya yang baru tak ada pelajaran seni musik,dia semakin kecewa.
Gitar, sahabatnya sejak SMP, walau tak mahir memainkan, Eka merasa bisa mengungkapkan segala isi hati melalui denting bunyi dawainya. Mengalunkan lagu-lagu balada bertema rindu, menjadi penghiburan. Hanya ini yang dilakukannya untuk mengusir segala gelisah dan rasa rindu.
Satu semester yang berat harus dilalui, jangankan mengukir prestasi, jurusan yang diinginkannya pun tak dapat diraih. Eka nyaris frustasi. Semua mimpinya satu persatu menjauh., 
Cerita Rio agak berbeda, walau menyimpan rindu yang sama. Rio meneggelamkan diri dalam pekerjaan. Prestasi  kerjanya mendapat apresiasi dari atasan. Dia semakin menikmati pekerjaannya. 
Sejak Eka sekolah di Bandung, surat-suratnya tak datang sesering dulu. Surat-surat itu sering tertahan di kantor karena sampai di saat yang tidak tepat, menunggu hingga tiga minggu untuk kemudian ikut berlayar ke Pulau. Rio juga mulai terbiasa dengan hal ini.
Menghadapi dengan cara berbeda, tapi tetap dengan  kerinduan yang sama. 

 


.

Sabtu, 18 Juli 2020

Ciri Kebahasaan Teks Berita

Teks berita, dalam penyajiannya memiliki aturan  atau kaidah yang agak berbeda dengan teks lain. Kaidah yang dimaksud terdiri atas,

1.      Penggunaan bahasa baku

2.      Penggunaan verba transsitif

3.      Penggunaan verba pewarta

4.      Penggunaan kata keterangan waktu dan tempat

5.      Penggunaan konjungsi temporal atau waktu

6.      Perpaduan anatara kalimat langsung dan taklangsun

 

1.      Penggunaan Bahasa Baku

Bahasa yang digunakan dalam teks berita adalah kata-kata baku, bukan kata-kata yang digunakan seharai-hari, yaitu kata yang sesuai dengan Ejaan Bahasa Indonesia dan terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Walaupun, teks berita menggunakan bahasa baku, tetapi tetap harus luwes dan mudah dipahami.

2.      Penggunaan Verba Transitif

Verba transitif adalah kata kerja yang dapat diubah ke dalam bentuk pasif.

Contoh kata kerja aktif yang berubah menjadi pasif.

Banyak yang melanggar aturan jaga jarak sosial. (Ini merupakan kalimat aktif karena kata kerja yang digunakan, yaitu kata melanggar membutuhkan objek.)

Dalam bentuk pasif kalimat tersebut  menjadi

Aturan jaga jarak sosial banyak dilanggar .

(kata dilanggar merupakan kata kerja transitif)

3.      Penggunaan Verba Pewarta

Dalam teks berita, penulis dapat pula menggunakan kata kerja pewarta, yaitu kata kerja yang memuat sebuah percakapan.

4.      Penggunaan Keterangan Tempat dan Waku (Adverbia)

Dalam teks berita, keterangan diperlukan untuk menjawab unsur ‘kapan’ dan ‘di mana’

5.   Penggunaan Konjungsi (kata hubung) Temporal.

Teks tak dapat lepas dari penggunaan kata hubung, dalam teks berita kata hubung yang banyak digunakan adalah kata hubung yang menunjukkan rentetan peristiwa, misalnya kata hubung selanjutnya, kemudian, setelah itu dan lainnya.

6.      Perpaduan antara Kalimat Langsung dan Kalimat Taklangsung.

      Dalam teks berita, pewarta biasanya mengutip kalimat yang disampaikan oleh narasumber. Kalimat ini terkadang diolah menjadi kalimat tak langsung. Namun demikian, kalimat langsung dapat pula digunakan dalam teks berita bersama-sama dengan kalimat taklangsung.

 

 

 


Kamis, 16 Juli 2020

Yang Tak Pernah Hilang #2

Bagian sebelumnya


Cerita dari Rio bagian #2:

“Hari ini kapal badak datang,” seorang kawan mengabari. Kedatangan kapal badak menjadi kebahagiaan tersendiri bagi kami yang berminggu-minggu hanya hidup berlima. Selain  membawa segala kebutuhan pokok, kapal badak juga menjadi penghubung kami dengan dunia luar. Tak ada yang lain. Tak ada radio, tak ada televisi, apalagi telepon. Alat komunikasi kami satu-satunya hanya pesawat transmitter untuk melapor ke kantor .

Pukul  5 sore kapal mendarat di dermaga, tiga sosok terlihat turun dari kapal dan  berjalan di atas jembatan kayu sepanjang 50 meter yang menghubungkan kapal dengan daratan,  masing-masing  membawa sebuah kardus besar. Aku dan yang lainnya menghampiri untuk membantu menurunkan isi kapal yang akan menjadi bekal untuk tiga minggu ke depan.

“Ada titipan?” Aku bertanya pada Trisno, salah seorang di antara mereka yang baru datang.
“Ada dalam ransel, masih di kapal,” jawabnya dengan senyum penuh arti.  Jantungku berdebar  tak karuan, bahagia. Rasanya ingin kutarik Trisno supaya kembali ke kapal dan mengambilkan titipan itu untukku. Tapi aku tak mau jadi bahan tertawaan. Aku memang harus bersabar sampai semua isi kapal selesai diturunkan.

Aku kembali mendekati Trisno, setelah berkumpul di posko.
“Mana?”  Trisno menurunkan ransel berwarna coklat yang tergantung di  punggungnya  lalu mengeluarkan sebuah amplop putih dan menyerahkannya padaku.
“ini!, sudah rindu berat, ya?  Baru juga tiga minggu . Seminggu lalu dia ke kantor dan menitipkan ini.”
“Ke kantor?”
“Iya, rindu memang bikin orang nekad,” Trisno tertawa, tapi aku tak perduli. Aku hanya ingin segera ke kamar dan membaca surat yang sekarang sudah ada di saku celanaku.

Surat dari Eka, berisi curahan hatinya, tentang rindu dan rasa cinta, juga tentang kecemasan dan ketakutan. Berulang-ulang kubaca tulisan tangannya sampai aku hafal isinya, bahkan letak titik dan komanya. 

Hari  semakin larut, di luar sesekali terdengar suara  dedaunan kering yang terinjak, mungkin ada komodo yang melintas atau monyet iseng yang masih ingin bermain. Tubuhku lelah tetapi hati dan anganku masih asik mengembara. Seandainya dia ada di sini akan kuajak dia duduk di atas akar pohon yang menjulur ke pantai  sambil menikmati deburan ombak, menikmati nyanyian surgawi dari alam yang masih murni. Atau berenang di antara gerombolan ikan yang melintas. Aku rindu memagutnya dengan penuh rasa sayang, menikmati matanya yang terkadang  membuatnya gugup saat kutatap. Malam ini suratnya menemaniku tidur.

“Rio...!” Suara memanggil namaku diiringi ketukan di pintu kamar, memaksaku membuka mata. Masih terasa berat karena aku baru tertidur menjelang dini hari.
“Rio!” Panggilan itu terdengar lagi, kali ini lebih keras. Kutajamkan  telinga untuk mengenali pemilik suara. Aku  melompat dan langsung membuka pintu saat aku sadari itu suara Trisno.
“Sebentar... jangan berangkat dulu!  Setengah jam saja, tolong... tunggu sebentar!” Aku meninggakannya yang masih tetap berdiri di depan pintu. Aku harus mengirim kabar pada Eka, kalau tidak sekarang harus menunggu tiga minggu lagi, itu terlalu lama. Aku mencari  kertas yang bisa kupakai untuk menulis surat, tapi tak ada. Aku semakin panik, di luar suara mesin kapal sudah dinyalakan.
“Gak usah panik, saya tunggu. Pakai ini saja.” Trisno menyerahkan buku tulis yang biasa digunakannya  mencatat pesanan kami. Tanpa pikir panjang aku terima buku itu dan melepas lembaran kertas yang paling tengah. 

Tergesa kutulis sepucuk surat untuknya, sepertiku tentu dia juga tengah menunggu kabar dariku. Sepertiku, dia tentu ingin tahu sebesar apa rindu yang tengah aku rasakan. Aku beruntung punya kawan sebaik Trisno. Dia menunggu sampai aku selesai menulis surat untuk Eka.

Sekali lagi aku merasakan suasana ini,  melihat kapal yang meninggalkan dermaga. Pulau yang sejak kemarin lumayan agak ramai dengan tambahan tiga orang penghuni, kini kembali sepi. Kami kembali berlima di tengah belantara.




Cerita dari Eka bagian 2

Jalan yang aku lintasi, masih rute yang sama. Dari arah pasar lurus menuju Mesjid Agung dan sampailah di pertigaan tempat aku dan dia selalu berusaha berada di situ di waktu yang sama. Tapi, keadaan sudah berbeda. Tak ada yang menyetop beca yang aku tumpangi hanya untuk sekadar berucap kata rindu. Beca berbelok ke jalan A. Yani menuju ke sekolah. Saat melintas di depan rumahnya, dadaku berdesir, aku berharap dia ada di situ, duduk di teras rumahnya,  saat melihatku segera berdiri dan menghampiri. Rindu memang membuat logika tak lagi bekerja.

Rumah itu kini sudah ada di belakangku, ada suara memanggil, bukan dari arah rumahnya. Aku menoleh mencari tahu, seseorang melambaikan tangan ke arahku, memakai seragam kantor yang sama dengan yang biasa di kenakannya.

Beca kuminta berhenti. Menunggu sesaat sampai sosok itu telah berdiri di samping becak yang kutumpangi. 
"Ada titipan, tadi Pak Trisno menyuruh saya menunggu di sini,"  semburat hangat menerpa wajahku, bahagia. Setidaknya aku punya penawar atas rindu yang menyiksa.

Aku tak mau menunda terlalu lama untuk membuka dan membaca surat itu, masih di atas beca, surat yang berada dalam tas kubentangkan. Kertasnya bergerak-gerak di dalam tasku, seiring gerakan beca di atas jalan yang tak terlalu mulus. Susah payah kuselesaikan kalimat demi kalimat.  Pada bagian namanya, mataku tak mau beralih. Rio Sanjaya. Padepokan Indrakila.
@@@

Menunggu kedatangan suratnya, yang hanya datang setiap tiga minggu, membuat rindu seperti gunung es yang semakin tinggi, semakin besar, dan semakin berat. Tapi cintaku  semakin indah. Walau bertemu menjadi hal yang sangat mahal. Dalam cinta ternyata tak jelas lagi batas bahagia dan derita. Aku menjalani keduanya dalam waktu bersamaan. 

Salah satu beban yang harus kutanggung, Aku dan ayah semakin hari semakin berjarak. Bukan hanya Ayah, Ibu dan saudara yang lain satu demi satu menjauh. Anak bandel, menjadi cap yang menempel di diriku.

Dulu Ayah selalu tanggap pada semua persoalanku. Mulai dari membuat teks pidato saat terpilih jadi ketua OSIS, membantu membuat tugas prakarya , membimbingku ketika ada tes hafalan. Aku mendapat gelar anak kesayangan Ayah. Aku tahu Ayah kecewa karena aku tak menepati janji. Bahkan saat kutunjukkan ijazah SMP yang baru kuterima, Ayah tak acuh. 
"Masih mau sekolah?" Pertanyaannya membuat aku terperangah lalu tertunduk tanpa berani menatapnya.
"Kalau ya, sekolah di Bandung, kalau tidak mau, berhenti saja." Aku  semakin menenggelamkan kepalaku, tertunduk  menyembunyikan air mata yang kian menderas. Ayah meninggalkanku tetap dalam posisi tak berdaya. 

Usiaku baru 15 tahun, aku cukup berprestasi di sekolah, mana mungkin tak sekolah. Aku memang tak punya pilihan dan harus menerima kehendak Ayah. Jarak antara aku dan Rio kini kian jauh. 

@@@@

Penulis:

Rio dan Eka harus berpisah, mereka berharap bisa mewujudkan semua harapan dengan terlebih dahulu mengalah. Mengurangi konflik, mungkin bisa jadi jalan keluar. Rio memilih menyepi di hutan, dan Eka menuruti kehendak orang tuanya, pindah kota.

Rio cukup sibuk dengan pekerjaannya sekarang. Setiap hari menyusuri jalan setapak, berpatroli sejauh tak kurang dari 10 km. Jalan yang dilaluinya ada di antara  pohon-pohon  berbatang besar dengan diameter tak kurang dari 1 meter, daunnya yang rimbun menghalangi cahaya matahari, jalanan jadi gelap. Pohon-pohon perdu dan ilalang terkadang menutup jalan yang  akan mereka lalui.  

Berpapasan dengan hewan melata  berbisa atau langkahnya tertahan ketika melihat jejak kaki kucing besar  di tanah yang basah, sudah sering terjadi. Rio mulai menikmati pekerjaannya. Menjadi garda depan penyelamat alam. 

"Ada jejak badak," Weli berbisik  sambil menunjuk ke arah depan. Di atas tanah terlihat jejak kaki berukuran  besar, menenggelamkan tanah cukup dalam menandakan pemilik jejak itu hewan berbobot  besar. 

Berdua mereka mengamati jejak tersebut, melakukan pengukuran dan mencatat dalam sebuah buku kecil. Jejak yang akan menjadi ciri individu pemiliknya. Saat melakukan penghitungan jumlah populasi hewan yang masih hidup di lokasi itu,  ini akan sangat berguna. 

Saat sore menjelang, mereka kembali ke barak. Rasa lelah membuat mata mudah terpejam. Malam tak lagi berisi luka.

Cerita Eka berbeda, dia tak bisa membantah keinginan orang tua yang menyuruhnya melanjutkan sekolah di Bandung. Tak ada pilihan ke dua. Berat, itu yang dirasakannya. Tapi,  jika tak diikuti, dia harus berhenti sekolah. Eka tak mau itu. 

Eka juga ingin merasakan lagi kasih sayang seluruh keluarga yang cukup lama hilang. Mungkin dengan cara mematuhi keinginan mereka, semua akan membaik, harapnya. 

Besok Eka akan berangkat ke Bandung. Kegelisahan menyergapnya. Rio harus tahu, tapi bagaimana caranya? Dia masih di pulau. Eka membolak balikkan badannya yang tengah berbaring di tempat tidur. Tak tahu harus berbuat apa. Sesekali dia duduk di sisi tempat tidur, juga tanpa melakukan apa-apa. 

Dipandanginya saja tas berisi pakaian yang besok akan dibawa. Beberapa berkas yang akan digunakan mendaftar sekolah sudah dimasukkannya juga ke dalam tas.

Setelah lama bertingkah tak jelas, Eka kemudian bangun dan berjalan menuju meja belajarnya. Dia mengeluarkan sebuah kaleng berbentuk bulat tingginya sekitar 8 cm, bekas wadah biskuit. Dengan hati-hati dia membuka kaleng itu, dia tak ingin menimbulkan suara gaduh dan membangunkan seisi rumah. Kaleng terbuka, Eka mengeluarkan seluruh isinya, beberapa buah amplop, surat-surat Rio. Dia memasukkan semua surat dalam tas bagian paling bawah, tak boleh ada yang melihat, bisik hatinya. Surat ini akan menemaniku di sana, batinnya.

Sepucuk surat kemudian ditulisnya untuk Rio, surat yang ditulis dengan  perasaan berat. Ada beberapa bagian yang tintanya memudar karena tetesan air mata. Besok pagi,  sebelum berangkat, dia akan minta izin dulu untuk mengambil sesuatu di rumah teman sekolahnya, begitu ide yang muncul di kepalanya agar bisa mengantarkan surat yang baru ditulis ke rumah keluarga Rio. Mereka pasti membantu menitipkannya ke kapal badak yang seminggu lagi akan menuju pulau. Eka mulai tenang, setidaknya dia tidak pergi diam-diam.

 Bersambung.

Unggulan

Cerita dari Masa Lalu #2

  Klik untuk membaca bagian sebelumnya Ekspresi kecewa, jelas terlukis di wajah Resti. Menelpon balik? Resti menghilangkan kemungkinan itu....