Selasa, 29 November 2011

BUNDA JAHAT

"Bunda jahat, bunda kejam, puput gak sayang lagi sama bunda, Bunda pergi aja, puput tidak  mau liat bunda lagi!", tulisan ini lah yang membuat detik detik yang aku lalui sepanjang hari ini betul-betul tidak menyenangkan. Sejak pagi hingga sore aku terus saja merasa terganggu, beberapa pekerjaan yang seharusnya bisa kuselesaikan pada hari ini, terabaikan. tulisan puput di white board yang tergantung di dinding kamarnya itu telah merusak konsentrasiku.

Tulisan itu aku ketahui  pagi tadi, ketika aku akan merapikan kamar anakku, puput 6 tahun. Memang seharusnya aku langsung membahas tulisan itu dengannya, tapi karena jam sudah menunjukkan pukul 07.00 artinya Puput akan segera berangkat ke sekolah, begitu juga denganku, aku harus berangkat ke tempat kerja, maka kuputuskan untuk menyelesaikannya sore nanti, sepulang kerja.

Di tempat kerja, aku jadi senewen, sebagai pelayan publik, hari ini aku tidak lagi menjadi pelayan yang baik, otakku tak dapat aku ajak kompromi, aku betul-betul terganggu dengan tulisan anakku itu. aku bingung mengapa sebegitu besar kemarahannya padaku,  selama ini aku selalu berusaha jadi ibu yang baik, pada saat-saat libur, aku selalu menikmati kebersamaanku dengannya.

Menyadari mood ku betul-betul kacau, aku minta izin dari atasan untuk pulang lebih awal,  aku harus berbicara dengan puput.
Sepanjang perjalanan pulang, aku terus merancang kata-kata yang tepat untuk berkomunikasi dengan anak usia 6 tahun ini, aku tidak mau salah-salah nanti malah memperburuk keadaan. Aku tiba di rumah kira-kira pukul empat sore, Puput tidak ada di rumah, tentu dia sedang mengaji di mushola dekat rumah. Aku kemudian berwudhu dan sholat asar, usai solat aku berdo'a memohon kepada Allah untuk di mudahkan dalam menyelesaikan masalah in.

Usai solat, aku menuju kamar Puput, aku ingin menunggunya di kamar ini. di dalam kamar lagi-lagi aku dikagetkan  dengan tulisan yang ada di white board
"Bunda jelek, enggak mau beliin puput coklat, tapi puput sayang bunda"
Tiba-tiba setetes bening meluncur dari kelopak mataku....dan aku pun menulis pada white board tersebut "Bunda juga sayang sama Puput"














Sabtu, 26 November 2011

Katakanlah Cinta Itu !!


Cerita ini cocok dengan lagu Kepastiannya Aurel, klik lagunya, nikmati ceritanya, rasakan sensasinya



Merindukanmu seolah terjebak dalam rengkuhan kabut malam, menanti dengan sabar saat sang surya segera meluruhkan cahayanya, menepis satu demi satu tetesan embun yang tersangkut di atas dedaunan. Namun mengapa tak kau sentuh juga jemari rinduku padahal kau begitu dekat.. teramat dekat sehingga tak ada sesuatupun yang berani tegak di antara kita?

  Kau selalu membuatku bertanya-tanya tentang arti tersebunyi dari semua sikapmu. Kau yang selalu baik padaku, selalu ada ketika aku inginkan seseorang mendengar semua keluh kesahku, kau bahkan rela mengorbankan banyak waktumu hanya untuk menemaniku, kau selalu ada dalam setiap langkahku. Tapi satu yang aku tak yakin apakah kau mencintaiku?

Menantikan kepastian tentang perasaanmu untukku membuatku seperti pengelana yang tersesat di padang tandus tanpa berbekal setetes airpun. Betapa dahaganya aku atas cintamu, cinta yang sesunguhnya yang kau wujudkan dalam sebuah ikrar yang nyata, biarlah orang mengatakan itu hanya retorika belaka, tak penting apa yang dikatakan orang, bagiku itu sangat bermakna, cinta yang tak pernah dinyatakan bukanlah cinta yang sesungguhnya, tetapi pertemanan dengan bumbu-bumbu asmara.

“Apa sebenarnya perasaanmu ke aku?” itu pertanyaan terberat yang pernah aku ucapkan kepadamu, sebagai wanita, aku tidaklah termasuk tipe agresif, tapi aku membutuhkan kepastianmu, maka pertanyaan itupun kupaksa untuk meluncur dari bibirku. Kau tak bergeming, kau juga tidak berkata sepatah katapun, kau hanya menatapku denga tatapan yang tak dapat kupahami, lalu kau  genggam tanganku, dan aku membiarkannya saja sambil terus berharap kau akan ucapkan tiga kata ajaib yang akan mengubah semua impianku menjadi sesuatu yang nyata, yang akan membebaskanku  dari kepekatan malam. Detik-demi detik pun berlalu, kau masih saja  mempermainkan tanganku dalam genggamanmu, dan akupun masih saja setia menunggu.
“so..?” desakku kemudian, aku mulai tidak sabar dengan semua ini, jiwaku resah.
“Mengapa kau tanyakan itu padaku ?” pertanyaan aneh, pikirku, 
“Karena aku butuh kejelasan” jawabku.
“Bukankah semuanya sudah sangat jelas ?”
“Mungkin iya dari sudut pandangmu tapi sangat tidak jelas menurut sudut pandangku“ tegasku kemudian.
“Apanya yang tidak jelas?”
“Semuanya!” semakin keras suaraku,  aku mulai tidak sabar dengan gayamu yang menurutku sangat mempermainkan perasaanku.
“Kau seharusya tau tanpa harus aku ucapkan, kau harusnya mampu merasakan tanpa harus aku katakan” kali ini justru suaramu yang mengeras.
“Aku ingin kau mengatakannya!”
“Artinya kau selama ini tidak menganggapku berbeda dari yang lain??”
“Aku hanya ingin mendengar semua itu dari mulutmu, semua orang bisa berbuat baik semua orang bisa selalu berada di dekatku, dalam kondisi apapun, tapi belum tentu dia mencintaiku”
Aku tak mampu lagi menahan kegusaranku, berapa lama lagi kau akan membiarkanku terombang ambing dalam lautan gelisah. Cinta butuh keyakinan, bukan tebak-tebakkan atau sekadar kira-kira dan aku tak berani meyakini sesuatu hanya karena secara logika sikapmu menunjukkan bahwa kau berbeda dari yang lain.

Merindukan kata-kata cinta darimu, adalah penantian tak berujung, bagimu pernyataan cinta bukanlah sesuatu yang penting tapi bagiku pernyataan cinta adalah sebuah ikrar tentang kesetiaan dan upaya untuk tetap saling menjaga. Kau menilaiku egois atas perbedaan prinsip kita ini  tapi siapa sebenarnya yang egois?

Aku lelah dalam pengharapan, mengapa dalam banyak hal kita bisa saling memahami, tapi  menjadi sulit dalam hal yang satu ini?. Perbedaan ini telah membuat semuanya menjadi kehilangan makna. Aku mulai menghindarimu  dan kau pun tak berusaha membuat semua menjadi lebih baik.
Ada yang hilang dari hari-hariku, semua mimpi-mimpi itu sekarang telah lumat di telan ketidak pastian, kujalani hidup dengan terseok karena tanpamu aku menjadi lemah…sangat lemah… yang tersisa hanya rasa hampa, aku tak hanya kehilangan cintamu, tapi aku juga kehilangan dirimu…

______________________****_____________________
Pagi ini, di acara temu kangen dengan kawan-kawan lama, kita kembali dipertemukan. Kau datang menghampiriku sambil cengengesan seperti gaya khasmu dahulu.
Di antara riuh rendah suara  musik dan gelak tawa penuh keakraban itu kau menghampiriku
“Apa kabar Dita?” sapamu, akhirnya kau ada lagi di hadapanku, tapi   semua pasti tak sama lagi seperti dulu, aku sadar semuanya pasti telah berubah.
“Baik, kabar kamu bagaimana?”  jawabku kemudian
Kau  tersenyum, membentangkan kedua tanganmu sambil sedikit mengangkat bahu
 "Ya, inilah aku!” Jawaban aneh menurutku, Kamu selalu saja menjadi sosok yang tidak jelas. Bagaimana mungkin aku tau tentang dirimu, keadaanmu, hanya dengan melihat sosok cengengesanmu? Gayamu tidak juga berubah, pasti egomupun masih sama seperti dulu.
Duduk berdua dengamu, melambungkanku pada kenangan-kenangan tentang kebersamaan kita, yang berakhir tanpa kata selamat berpisah. Aku dan kamu sama-sama diam, tanganku asyik mempermainkan sendok yang berada dalam gelas jus buahku , dentingan bunyinya adalah irama kegelisahanku, sementara kaupun hanya menepuk-nepuk  meja , entah apa yang kau rasakan saat itu, kita hanya asyik mengembara dalam pikiran masing-masing.
“Sudah tiga tahun ya, Dit” tiba-tiba suaramu membuyarkan kebekuan diantara kita. Aku hanya mengangguk menyetujui.
“Pasti sudah banyak yang berubah”  lagi-lagi aku hanya menangguk,  sementara  aku sebenarnya sedang sibuk meredam hatiku yang meronta-ronta, hidup tanpamu adalah kegetiran yang panjang, kedukaan yang demikian nestapa, kerinduan yang tak berujung, seandainya kau tau hal itu…
“Dita, seandainya kita mampu membalikkan waktu…” terdengar sangat jelas ditelingaku, helaan nafas panjangmu. Apakah kau juga memiliki rindu itu, rindu yang membelenggu, yang membuatmu tak mampu berpaling kepada hati yang lain?
Tiba-tiba kau menatapku sangat dekat, kau lepaskan sendok es dari tanganku, kau genggam lagi tanganku, seperti yang kau lakukan tiga tahun lalu, ketika kita tak mampu mengalahkan ego kita masing-masing, membiarkan diri kita terbenam dalam nelangsa yang teramat dalam.
“Dita, masih bisakah kita ulangi lagi semuanya di sini, sekarang ini?” mendengar apa yang kau tuturkan, hatiku berdesir , jiwaku melambung, sebongkah gunung es yang selama ini membelengguku seakan mencair dalam sesaat. Aku hanya menatapmu dengan segala kelembutan yang aku miliki, dengan segala rasa cinta dan kerinduan yang aku punya.
“Apakah, harus kuucapkan juga kata itu, Dita?” kali ini kamu menatapku dengan sangat serius Aku bingung bagaimana harus  menjelaskannya padamu, aku sudah tak butuh lagi kata-kata itu, yang aku mau kau selalu berada dekat  denganku membiarkan detak jantungku berdegup keras ketika berada dalam pelukanmu.
“Dita, Aku Sangat Mencintaimu, melewati hari tanpamu adalah kehampaan yang melukaiku," bisikmu dekat telingaku. 
Cinta memang membingungkan, Dalam harapan cinta, begitu sulit memisahkan antara bahagia dan nestapa, antara mimpi dan kenyataan, antara  perasaan dan logika.


Salam penuh cinta
yety






Jumat, 25 November 2011

Ketika Kau Harus Pergi





 Burung itu terbang tinggi…., tinggi… sekali, mengepakkan sayapnya yang kokoh, mencoba meraih semua mimpi yang  kami miliki.  Aku hanya berdiri memandang ke langit sambil  berharap suatu hari dia akan kembali dengan senyuman yang lebih indah dari semua yang dia berikan untukku selama ini.
Hari ini,  pesawat itu tinggal landas membawa Mas Dani terbang, menuju semua pengharapannya, harapan untuk membawa kami pada kehidupan yang lebih baik.
“Arma, cobalah untuk mengerti dengan keputusanku ini…” itu pinta Mas Dani sekitar empat bulan yang lalu, aku diam tak menanggapi ucapannya , yang ada di benakku hanya rasa hampa…rasa yang membuat aku menjadi perempuan yang begitu lemah..tiada berdaya, bahkan ketika suami  menemukan jalan buntu untuk mengatasi segala kesulitan hidup ini, aku pun tak bisa berbuat banyak.
Rencana kepergian mas Dani telah membuat aku sangat bingung, Aku merasa seperti anai-anai yang terbang tertiup angin, melayang-layang tanpa pengharapan, aku takut jika akhirnya terhempas dalam kegelapan yang pekat.
“Mas, aku takut hidup tanpa kamu mas..” akhirnya kata itupun tak lagi dapat kusimpan tak lagi aku mampu menyembunyikan kegelisahanku.
“Apa sebetulnya yang kau hawatirkan, Arma?”
“Aku menyayangimu, aku tak mau harus kehilangan dirimu, aku takut terjadi sesuatu ”
“Tak ada yang akan kehilangan, Arma, kepergianku hanya untuk memperbaiki kehidupan kita, tak ada yang dapat aku lakukan di sini, aku harus pergi..ini satu-satunya cara agar hidup kita lebih baik agar semua mimpi yang pernah kita rajut bersama dapat terwujud”  Mas Dani mencoba meyakinkanku. Aku masih bingung, teramat bingung…Begitu banyak peristiwa-peristiwa buruk yang telah dialami para TKI, aku takut kalau mas Dani nantinya dituduh sebagai pengedar narkotika, atau dia masuk penjara karena difitnah melakukan pencurian.
Setiap hari mas Dani dengan sabar berusaha meyakinkanku, meyakinkan akan kesetiaanya, meyakinkan aku akan keselamatan dirinya, sampai  akhirnya aku luluh… bukan karena aku percaya bahwa sistim perlindungan TKI sudah semakin baik, atau Negara yang akan dituju Mas Dani telah berjanji untuk memperlakukan para pejuang devisa Negara ini dengan lebih adil, tapi lebih karena kegigihan mas Dani membujukku, aku tak ingin Mas Dani  menilaiku sebagai istri yang keras kepala, bandel, seperti anak kecil, tidak percaya pada perlindungan Allah dan lain sebagainya.
 “Arma, jaga anak-anak, jangan lupa selalu berdo’a , aku sayang kalian semua…”  Ingin rasanya aku mengghambur dalam pelukan mas Dani, seperti yang dilakukan sepasang remaja disampingku, tapi aku malu, aku hanya menatap wajah mas Dani lekat-lekat, aku takut kehilangan waktu yang sangat berharga ini, tinggal sesaat lagi aku bisa  menikmati wajahnya, Tuhan  berapa lama aku harus kehilangan pujaanku ini?, wajah lelaki baik yang selalu mengisi hari-hariku dengan cinta yang begitu damai…
Mas Dani pergi, bukan karena keegoisannya, tetapi karena Dia adalah suami yang beranggung jawab atas nasib rumah tangganya. Dia hanya ingin mewujudkan impian-impian kami, impian tentang rumah mungil yang senantiasa menyertai perjalanan indah cinta kami, tentang tawa ceria anak-anak ketika berpamitan berangkat ke sekolah. Mimpi-mimpi yang belum berhasil kami wujudkan.
Lelaki perkasa itu akhirnya meninggalkan aku yang hanya mampu menatap langit dengan linangan air mata…
Selamat jalan mas Dani, bawalah juga hatiku bersamamu, simpan dia rapat-rapat di sisi jantungmu, rasakan selalu degupannya agar kau selalu yakin akan kesetiaanku padamu…

Unggulan

Cerita dari Masa Lalu #2

  Klik untuk membaca bagian sebelumnya Ekspresi kecewa, jelas terlukis di wajah Resti. Menelpon balik? Resti menghilangkan kemungkinan itu....