-->
Wina, Begitu orang biasa
memanggilku. Aku adalah biduan yang bernyanyi dari panggung ke panggung.
Sebagai seorang penyanyi tugasku menghibur, tidak peduli
seperti apa suasana hatiku, yang pasti di atas panggung aku harus berupaya
keras agar penonton suka kemudian dengan senang hati mereka akan menari-nari
bersamaku sambil melepaskan satu demi satu lembaran lima ribuan yang mereka
bawa.
Aku sadar goyangan-goyanganku
yang sensual dan suara-suara desahan yang mengundang berahi, pada saat aku
bernyanyi, seringkali mendapat kritik
pedas dari banyak kalangan, tetapi aku harus bilang apa? Karena inilah duniaku,
dunia yang mau mengalirkan uang yang aku butuhkan untuk membiayai kehidupanku dan
kedua anakku.
“Tariiik Mang….” Teriak salah
seorang anggota grup musik kami, sambil
sibuk melakukan tugasnya mengumpulkan uang saweran yang berserakan di atas panggung.
Seorang lelaki setengah baya naik ke atas panggung sambil mengacung-acungkan
segepok uang di tangannya, riuh rendah suara penonton menyemangatinya, memekakan
telingaku.
“Ayo neng, goyangnya dong!” bisik
lelaki itu ditelingaku, sambil melingkarkan tangannya yang menggenggam gepokan uang
sepuluh ribuan di leherku. Bau parfum bercampur keringat menyengat
menyerang hidungku, ingin muntah rasanya tapi aku terus bernyanyi dan bergoyang
erotis sambil menarik lembar demi lembar
yang dia sodorkan tepat di depan dadaku.
Malam semakin larut, suasana
semakin panas, tubuhku lelah dan batinkupun lelah, tiba-tiba seorang remaja 15
tahun naik ke atas panggung dengan nakalnya diselipkannya uang sepuluh ribuan
tepat di belahan dadaku. Aku tersentak…terlintas wajah Rian, anak cikalku, Dia baru duduk di kelas 1
SMA. Dia adalah harapan terbesarku. Aku akan lakukan segalanya untuk menyiapkan
masa depannya. Dia tidak boleh seperti anak ingusan yang sedang menari-nari di
hadapanku ini.
Bagi penyanyi panggung sepertiku,
rasa tersinggung dan perasaan direndahkan atas perlakuan-perlakuan nakal para
penonton sudah menjadi hal biasa, walau aku tak pernah mampu menahan nyeri di
dadaku, aku menyimpannya rapat-rapat dibalik senyuman dan alunan lagu yang aku dendangkan. Aku tak
ingin kehilangan pekerjaanku satu-satunya ini, terlalu banyak orang yang
mengantri ingin jadi penyanyi panggung sepertiku, makanya pemimpin grup bisa seenaknya menuntut ini dan itu dari
penyanyi-penyanyinya. Bagi pemimpin grup musik seperti mereka, saweran adalah
segala-galanya dan penyanyi adalah tangguk yang akan mereka gunakan untuk
mendapatkan saweran sebanyak-banyaknya.
Tepat pukul 02.00, pertunjukkan
usai, betapa terkejutnya aku ketika Rian menghampiriku.
“Ayo Bu..kita pulang”
“Lho..kamu dari mana malam-malam
begini?”
“Sengaja jemput Ibu”
“Ini sudah larut Rian, tidak baik
remaja seusiamu masih berkeliaran malam-malam begini”
“Aku anak laki-laki Bu,
setidaknya Ibu lebih aman aku boncengin dari pada naik ojeg” kali ini suara
Rian begitu tegas. Anakku sudah dewasa rupanya.
Sepanjang jalan aku dan Rian
hanya diam, tidak ada percakapan. Hatiku mengembara sendiri. Mungkin demikian juga
dengan Rian, sikapnya jelas menunjukkan hal itu, banyak yang ingin
diugkapkannya tapi dia pun hanya diam. Matanya lurus memandang ke depan.
Dua puluh menit berlalu, kami
sampai tepat di depan pintu, Aku dan Rian masuk pelahan, di sofa panjang Mas
Hans tergeletak pulas, asbak di atas
meja penuh dengan puntung rokok. Aku lirik Rian yang memandang sinis ke arah
mas Hans.
“Enak ya jadi Bapak!” masih sinis
suaranya
“sstt….!, ayo tidur sudah malam,
Ibu juga sudah ngantuk..” bisikku, aku tak mau Mas Hans terbangun lalu mulai lagi
menyindir-nyindir pekerjaanku.
Rianpun mengikuti perintahku, Dia
berlalu menuju kamarnya.
Aku mengenal Mas Hans saat aku
kelas 3 SMA. Dia teman sekelasku, Wajahnya yang tampan juga penampilannya yang
berbeda dari teman-temanku yang lain, membuat aku tertarik, sebagai remaja
belia aku masih terlalu polos, aku begitu terpesona dengan segala yang
dimilikinya, setiap berangkat dan pulang sekolah dia selalu menjemputku dengann
mobilnya, di kotaku hanya Dia satu-satunya siswa yang ke sekolah membawa mobil
sendiri, ditambah lagi hadiah-hadiah yang lumayann berharga menurut ukuran
kantong remaja pada masa-masa itu, semuanya membuat aku terlena.
Semua kemewahan yang diberikan
Hans membuat Aku lupa memperhatikan
bahwa Hans hanya mengandalkan kekayaan orang tuanya, Dia tidak focus pada
sekolah, Nilai-nilai ulangannya selalu jauh di bawah nilai-nilaiku, Dia lebih
banyak nongkrong di kantin dari pada belajar di kelas, Hidupnya tanpa tujuan
yang jelas.
Akhir tahun pelajaran, aku lulus
dengan nilai yang lumayan, Hans juga lulus, setelah ayahnya bernegosiasi dengan
kepala sekolah. Aku melanjutkan pendidikanku di sebuah Akademi Sekretaris, dan
Hans memilih tidak melanjutkan pendidikannya, “bosan” itu alasannya. “Otak ku
sudah mampet” lanjutnya. Tapi kami selalu bertemu seperti dulu.
Aku dan Hans menikah setelah aku
lulus, bahagia rasanya, akhirnya impian-impian tentang gaun pengantin, pesta
pernikahan yang kami rajut berdua terwujud juga.
Tahun-tahun pertama
pernikahan penuh dengan senyuman, tak
ada yang kami risaukan, Hans begitu memanjakanku, Dia melarangku bekerja,
“Duduk manis sajalah, aku gak mau melihat kamu dalam keadaan letih, nanti kamu
tidak cantik lagi” ujarnya dan aku tersanjung karenaya. Hans bekerja membantu
ayahnya mengelola bisnis property, rumah dan segala perlengkapan sudah kami
miliki sejak kami menikah, hadiah dari Ibunya Hans. Hans memang anak tunggal
yang dimanjakan oleh kedua orang tuanya.
Semuanya berubah ketika dua tahun lalu Ayahya ketahuan menyuap seorang pejabat untuk
mendapatkan sebuah proyek besar. Ayahnya masuk penjara, karena tidak tahan
menanggung malu, Ibu Hans pun sakit kemudian meninggal. Hans menjadi limbung dia
tidak terbiasa menjalankan usaha itu sendiri, sebetulnya aku pernah menawarkan
diri membantunya, tetapi Hans terlalu angkuh untuk mengakui kekurangannya, dan
kemudian bisnis warisan itupun hancur.
Apa yag dapat aku lakuan?
Walaupun aku memiliki ijazah akademi sekretaris, usiaku saat ini sudah nyaris
40 tahun, perusahaan mana yang mau menerima karyawan baru, tanpa pengalaman,
seusiaku?. Tabungan yang aku siapkan untuk pendidikan anak-anakku, sedikit demi
sedikit habis, mulanya sebagian dipinjam Mas Hans untuk modal usaha jasa rental kendaraan, tetapi malah
kedua mobil itu di bawa lari oleh orang yang menyewa. Akhirnya tabunganpun
habis untuk membiayai kehidupan kami. Mas Hans benar-benar tak berdaya,
Kegagalan-demi kegagalan yang
dialaminya telah membuatnya putus asa, apalagi dengan modal yang sudah tandas.
Satu demi satu perabotan berharga pun meninggalkan rumah, kami harus menjualnya demi keberlangsungan
kehidupan kami. Sampai suatu ketika rumah kami menjadi gelap gulita tanpa
penerangan karena ternyata sudah tiga bulan kami belum melunasi rekening
listrik. Inilah yang memaksaku menerima tawaran seorang teman untuk menjadi
biduan panggung.
“Eh kamu udah pulang sayang..?”
suara mas Hans tiba-tiba mengagetkanku, Dia sudah berdiri tepat dibelakangku.
Aku hanya mengangguk, dipeluknya aku dari belakang dan kami berdua menghadap ke
cermin besar yang ada di kamar “Lihat wajahmu…..kamu itu memang masih
mempesona, berapa lelaki yang malam ini menyentuh payudaramu?.. payudaramu
memang indah apalagi pada saat kamu bergoyang, para lelaki hidung belang itu pasti suka sekali melihatnya..” begitu sinis
suara itu, menusuk-nusuk hatiku.
“Mas, sudahlah…tidak ada
seorangpun yang menyentuhnya, mereka hanya bergoyang bersamaku, tidak lebih
mas” aku berusaha membela diri.
“Wina..Wina….. aku bukan lelaki
bego yang tidak tau bagaimana kelakuan para hidung belang itu di atas panggung,
kamu gak usah bohong!!” keras suara mas Hans. Bukan keras suara itu yang
menyakitiku tetapi apa yang diucapkannya, begitu rendah dia menilai istrinya
sendiri, ku tahan isakanku jangan menangis Wina…jangan !!!…jangan…!!!
Mas Hans mempererat pelukannya,
di sentuhnya bibirku dengan jemarinya,aku hanya diam, aku berharap mudah-mudahan ini bisa membuat Mas
Hans tidak ngomong yang menyakiti hatiku lagi… tapi tiba-tiba dia lepaskan aku
dari pelukannya dengan kasar, aku terhuyung, nyaris terhempas, Mas Hans keluar
kamar sambil membanting pintu dengan sangat keras. Tak terbendung lagi air mataku pun jatuh satu demi satu…
Ya Tuhan…kemana mas Hansku yang
dulu?
Duhai kabut yang menyelimuti
pagi, jangan biarkan bahagiaku mengembara dalam gelap gulita lalu terhempas
dalam kelam yang menyesatkan…
“Bu…!, Rian dan Rani mau berangkat sekolah…” suara Rian
menyadarkanku, hari sudah pagi, sepanjang malam aku uraikan semua beban yang
membeliti jantungku dalam tangisan, kupandangi cermin. Mataku sembab… bagaimana
aku harus menyembunyikan semua ini dari kedua anakku.
“Bu….?” Kembali terdengar suara
anakku, kali ini suara Rina “Bu, hari ini Rina piket, jadi harus buru-buru,
mana ongkosnya Bu?”. “ya, sebentar” kupolesi wajahku dengan make up, terutama
bagian mataku, mereka tidak boleh mengetahui kesedihanku..mereka harus menjadi
anak-anak normal, seperti anak-anak seusia mereka lainnya.
“Ini uang untuk ongkos dan jajan
kalian, hati-hati di jalan..” Rina segera menyambar uang bagiannya, sementara
Rian sejenak memperhatikan wajahku, “Ibu tidak apa-apa kan?” aku hanya
tersenyum menjawab pertanyaan Rian, sambil menggeleng untuk meyakinkannya.
“Wina, rokokku juga habis” ,
kuulurkan uang Rp 20.000,- ke tangan mas Hans “Hanya segini Win?”
“Memangnya harga rokok berapa?”
tanyaku masih hati-hati
“Aku juga mau ke luar, bosan di
rumah terus”
“Tapi Mas, uang ini untuk
persediaan kita beberapa hari, aku belum tau apakah dalam minggu ini ada job
manggung apa tidak” aku masih mencoba meminta pengertian Mas Hans, aku tidak
ingin mas Hans tersinggung dengan penolakanku, aku tau mas Hans sedang
mengalami depresi berat, Dia sedang berada di titik yang sangat rendah dalam
kondisi seperti ini seorang suami akan menjadi manusia yag paling egois
sedunia, demi untuk menutupi segala kekurangannya.
“Kalau begitu goyangan kamu itu
murah sekali ya?” pedas, sangat pedas ucapan itu sampai ke teligaku
“padahal kamu sudah menari-nari
meliuk-liuk seperti penari bugil, mending sekalian aja jadi pelacur !!!” Di
raihnya uang Rp 20.000,- dari tanganku, dan Dia pun menghilang di balik pintu,
entah kemana...
Tuhan, kepada siapa nestapa ini
harus aku labuhkan…Betapa beratnya penderitaan yang aku tanggung, menjadi
biduan panggung juga bukan pilihan
hidupku, tapi aku lakukan untuk menyelamatkan keluargaku…
Malam sudah semakin larut, Rian
dan Rina sudah masuk ke kamarnya masing masing, aku masih belum beranjak ke
kamar. Mas Hans belum pulang, aku mencemaskannya…hingga kemudian…
“Win..Wina, buka pintu…”
“Ya Mas…” bergegas aku membuka
pintu dan mendapati Mas Hans sedang menggandeng
seorang wanita cantik yang usianya jauh lebih muda dariku
“siapa gadis ini Mas?” tanyaku
setelah sesaat aku bingung menghadapi situasi seperti ini.
“oh ya, kenalkan namanya Hesti, Dia cantik kan?”
entah apa maksud mas Hans bertanya
begitu padaku
“ Ya..Dia memang cantik, tetapi
ada apa kamu membawanya malam-malam begini ke rumah kita?” aku berusaha tetap
tenang dan mengusir semua pikiran buruk yang melintas-litas di benakku.
“Wina. Kamu kan tidak punya cukup
uang untuk mengurusi aku, biarlah mulai malam ini Hesti yang akan mengurusiku”
“Mas Hans ?! kamu sudah gila
apa?” tak ada lagi suara Wina yang lembut, yang penuh pengertian, yang selalu
berusaha mengerti keadaan yang menimpa suaminya, aku betul betul meradang, aku
tidak peduli lagi ini pukul berapa, aku juga lupa suaraku akan membangukan ke
dua anak-anakku
“Ibu….” Benar saja Rian dan Rina
sudah ada di samping kiri dan kananku
“Kalau kamu tidak suka kalian
boleh pergi dari sini!!!” tanpa memandang kami, Mas Hans masuk ke dalam rumah
dengan menggandeng wanita muda itu.
Ya Tuhan, kapan Kau akan akhiri
penderitaanku ini, sudah letih hatiku, sudah tak berdaya aku ini ya Tuhan…Kemana
mimpi-mimpi yang pernah kami rajut bersama, kemana bahagia yang pernah kami
jalani dulu…
“Bu... kita pergi saja Bu” suara Rian
menyadarkanku dari ketidakberdayaanku
“Pergi kemana Nak?, Ibu tidak
tau, apa yang dapat Ibu lakukan tanpa Bapak”
“Bu, selama
ini, Ibu kan berjuang sendiri menghidupi kami, sementara Bapak hanya
bisa membuat ibu menagis, tanpa Bapakpun kita pasti bisa lalui ini semua Bu” Tersentak
aku mendengar ucapan Rian, Begitu hebat kata-kata yang diucapkannya, Ya… di
mata Mas Hans mungkin aku hanya perempuan lemah yang hanya diam bila ditindas,
yang akan menuruti semua keinginannya ketika diancam. Yang begitu pasrah dan tak berdaya.Tidak lagi sekarang…!!!
tidak..!!! aku sudah punya Rian yang akan menjadi penguatku ketika aku lemah, yang
akan menahanku ketika aku limbung, aku memiliki Rina, yang dengan keceriaanya
akan membuat aku tetap tegar dan
menjalani hidup ini dengan tersenyum.
Tanpa basa basi, aku, Rian, dan
Rina berkemas, Esok pagi, aku akan mengurus surat pindah sekolah anak-anakku,
dan memulai hidup di tempat lain..kami yakin kasih sayang diantara kami akan
membuat kami menjadi kuat, dan pilihanku…..aku tidak akan menjadi penyanyi
panggung lagi!!
Saya butuh bantuan dari pembaca untuk meninnggalkan komentar atau masukan sebagai bahan untuk evaluasi..thanks sebelumya.....
Mba Wina... ketika dirimu dihadapkan dengan masalah ekonomi yang sangat memprihatinkan, maka hanya keahlianmu sebagai penyanyi saja yang kamu andalkan, walaupun profesi itu tidak disukai oleh suamimu, memang... harus berbuat apalagi sementara kondisi seperti itu... , namun perlu dirimu pahami seharusnya kecantikanmu, keindahan tubuhmu, keramahan prilakumu, dll cukup untuk suamimu dan keluargamu, suami adalah pengganti ongtuamu, yang wajib kamu hormati dan kamu hargai, saya yakin bisanya suamimu bersikap seperti itu karena pada dasarnya suami mana yang rela melihat istrinya memamerkan tubuh, kecantikan dan berliakliuk diatas panggung....., seblum kamu mulai lagi profesimu sebaiknya dipertimbangkan mengingat kamu sudah mempunyai putra dan putri yang sudah remaja dan sudah mengerti baik atau buruknya sebuah profesi ibunya, saya yakin masih banyak pekerjaan yang lebih halal yg tidak mengorbankan perasaan suami dan putra-putrimu, apalagi duniamu sangat rentan dengan image2 negatif dari luar sana, jika tidak ada jalan lain untuk menghasilkan uang, sementara suaamimu blm memiliki penghasilan lagi... ada baiknya kamu ambil job menyanyi yang lebih dihargai, seperti di wedding atau acara pernikahan di rumah yang hanya untuk menghibur para tamu, dan biasanya selesainyapun tidak larut malam, dilihat suami atau putra-putri mba juga masih nyaman...
BalasHapus, dan perhatian terhadap suamu dan anak2 juga masih lebih banyak waktunya, intinya dibatasilah job2 yang kamu terima, tentunya setiap job melalui persetujuan suami dan anak2, jika suami melarang salah satu job dengan alasan terlalu jauh, atau tempatnya tidak layak sampai larut malam juga, sebaiknya patuhilah suamimu, karena rezeki yang diridhai suami atau istri itulah sebaik2 nya rezeki dari Allah SWT.
Mas atau Mbak. Terima kasih atas saran dan motivasinya. Kisah ini sebetulnya hanya fiksi, tetapi saran Mbak atau Mas sangat bermanfaat bagi mereka yang bernasib sama dengan tokoh pada kisah ini.
BalasHapus