Minggu, 20 November 2011

AKU WINA, BIDUAN SAWERAN


-->
Wina, Begitu orang biasa memanggilku. Aku adalah  biduan  yang bernyanyi dari panggung ke panggung. Sebagai seorang penyanyi tugasku menghibur, tidak  peduli  seperti apa suasana hatiku, yang pasti di atas panggung aku harus berupaya keras agar penonton suka kemudian dengan senang hati mereka akan menari-nari bersamaku sambil melepaskan satu demi satu lembaran lima ribuan yang mereka bawa.
Aku sadar goyangan-goyanganku yang sensual dan suara-suara desahan yang mengundang berahi, pada saat aku bernyanyi,  seringkali mendapat kritik pedas dari banyak kalangan, tetapi aku harus bilang apa? Karena inilah duniaku, dunia yang mau mengalirkan uang yang aku butuhkan untuk membiayai kehidupanku dan kedua anakku.
“Tariiik Mang….” Teriak salah seorang anggota grup musik kami,  sambil sibuk melakukan tugasnya mengumpulkan uang saweran yang berserakan di atas panggung. Seorang lelaki setengah baya naik ke atas panggung sambil mengacung-acungkan segepok uang di tangannya, riuh rendah suara penonton menyemangatinya, memekakan telingaku.
“Ayo neng, goyangnya dong!” bisik lelaki itu ditelingaku, sambil melingkarkan  tangannya yang menggenggam gepokan uang sepuluh ribuan di leherku. Bau parfum bercampur keringat menyengat menyerang hidungku, ingin muntah rasanya tapi aku terus bernyanyi dan bergoyang erotis sambil  menarik lembar demi lembar  yang dia sodorkan tepat di depan dadaku.
Malam semakin larut, suasana semakin panas, tubuhku lelah dan batinkupun lelah, tiba-tiba seorang remaja 15 tahun naik ke atas panggung dengan nakalnya diselipkannya uang sepuluh ribuan tepat di belahan dadaku. Aku tersentak…terlintas wajah  Rian, anak cikalku, Dia baru duduk di kelas 1 SMA. Dia adalah harapan terbesarku. Aku akan lakukan segalanya untuk menyiapkan masa depannya. Dia tidak boleh seperti anak ingusan yang sedang menari-nari di hadapanku ini.
Bagi penyanyi panggung sepertiku, rasa tersinggung dan perasaan direndahkan atas perlakuan-perlakuan nakal para penonton sudah menjadi hal biasa, walau aku tak pernah mampu menahan nyeri di dadaku, aku menyimpannya rapat-rapat dibalik senyuman dan  alunan lagu yang aku dendangkan. Aku tak ingin kehilangan pekerjaanku satu-satunya ini, terlalu banyak orang yang mengantri ingin jadi penyanyi panggung sepertiku, makanya pemimpin grup  bisa seenaknya menuntut ini dan itu dari penyanyi-penyanyinya. Bagi pemimpin grup musik seperti mereka, saweran adalah segala-galanya dan penyanyi adalah tangguk yang akan mereka gunakan untuk mendapatkan saweran sebanyak-banyaknya.
Tepat pukul 02.00, pertunjukkan usai, betapa terkejutnya aku ketika Rian menghampiriku.
“Ayo Bu..kita pulang”
“Lho..kamu dari mana malam-malam begini?”
“Sengaja jemput Ibu”
“Ini sudah larut Rian, tidak baik remaja seusiamu masih berkeliaran malam-malam begini”
“Aku anak laki-laki Bu, setidaknya Ibu lebih aman aku boncengin dari pada naik ojeg” kali ini suara Rian begitu tegas. Anakku sudah dewasa rupanya.
Sepanjang jalan aku dan Rian hanya diam, tidak ada percakapan. Hatiku mengembara sendiri. Mungkin demikian juga dengan Rian, sikapnya jelas menunjukkan hal itu, banyak yang ingin diugkapkannya tapi dia pun hanya diam. Matanya lurus memandang ke depan.
Dua puluh menit berlalu, kami sampai tepat di depan pintu, Aku dan Rian masuk pelahan, di sofa panjang Mas Hans tergeletak pulas, asbak  di atas meja penuh dengan puntung rokok. Aku lirik Rian yang memandang sinis ke arah mas Hans.
“Enak ya jadi Bapak!” masih sinis suaranya
“sstt….!, ayo tidur sudah malam, Ibu juga sudah ngantuk..” bisikku, aku tak mau Mas Hans terbangun lalu mulai lagi menyindir-nyindir pekerjaanku.
Rianpun mengikuti perintahku, Dia berlalu menuju kamarnya.
Aku mengenal Mas Hans saat aku kelas 3 SMA. Dia teman sekelasku, Wajahnya yang tampan juga penampilannya yang berbeda dari teman-temanku yang lain, membuat aku tertarik, sebagai remaja belia aku masih terlalu polos, aku begitu terpesona dengan segala yang dimilikinya, setiap berangkat dan pulang sekolah dia selalu menjemputku dengann mobilnya, di kotaku hanya Dia satu-satunya siswa yang ke sekolah membawa mobil sendiri, ditambah lagi hadiah-hadiah yang lumayann berharga menurut ukuran kantong remaja pada masa-masa itu, semuanya membuat aku terlena.
Semua kemewahan yang diberikan Hans  membuat Aku lupa memperhatikan bahwa Hans hanya mengandalkan kekayaan orang tuanya, Dia tidak focus pada sekolah, Nilai-nilai ulangannya selalu jauh di bawah nilai-nilaiku, Dia lebih banyak nongkrong di kantin dari pada belajar di kelas, Hidupnya tanpa tujuan yang jelas.
Akhir tahun pelajaran, aku lulus dengan nilai yang lumayan, Hans juga lulus, setelah ayahnya bernegosiasi dengan kepala sekolah. Aku melanjutkan pendidikanku di sebuah Akademi Sekretaris, dan Hans memilih tidak melanjutkan pendidikannya, “bosan” itu alasannya. “Otak ku sudah mampet” lanjutnya. Tapi kami selalu bertemu seperti dulu.
Aku dan Hans menikah setelah aku lulus, bahagia rasanya, akhirnya impian-impian tentang gaun pengantin, pesta pernikahan yang kami rajut berdua terwujud juga.
Tahun-tahun pertama pernikahan  penuh dengan senyuman, tak ada yang kami risaukan, Hans begitu memanjakanku, Dia melarangku bekerja, “Duduk manis sajalah, aku gak mau melihat kamu dalam keadaan letih, nanti kamu tidak cantik lagi” ujarnya dan aku tersanjung karenaya. Hans bekerja membantu ayahnya mengelola bisnis property, rumah dan segala perlengkapan sudah kami miliki sejak kami menikah, hadiah dari Ibunya Hans. Hans memang anak tunggal yang dimanjakan oleh kedua orang tuanya.
 Semuanya berubah ketika dua tahun lalu  Ayahya ketahuan menyuap seorang pejabat untuk mendapatkan sebuah proyek besar. Ayahnya masuk penjara, karena tidak tahan menanggung malu, Ibu Hans pun sakit kemudian meninggal. Hans menjadi limbung dia tidak terbiasa menjalankan usaha itu sendiri, sebetulnya aku pernah menawarkan diri membantunya, tetapi Hans terlalu angkuh untuk mengakui kekurangannya, dan kemudian  bisnis warisan itupun hancur.
Apa yag dapat aku lakuan? Walaupun aku memiliki ijazah akademi sekretaris, usiaku saat ini sudah nyaris 40 tahun, perusahaan mana yang mau menerima karyawan baru, tanpa pengalaman, seusiaku?. Tabungan yang aku siapkan untuk pendidikan anak-anakku, sedikit demi sedikit habis, mulanya sebagian dipinjam Mas Hans untuk modal  usaha jasa rental kendaraan, tetapi malah kedua mobil itu di bawa lari oleh orang yang menyewa. Akhirnya tabunganpun habis untuk membiayai kehidupan kami. Mas Hans benar-benar tak berdaya,
Kegagalan-demi kegagalan yang dialaminya telah membuatnya putus asa, apalagi dengan modal yang sudah tandas. Satu demi satu perabotan berharga pun meninggalkan rumah, kami  harus menjualnya demi keberlangsungan kehidupan kami. Sampai suatu ketika rumah kami menjadi gelap gulita tanpa penerangan karena ternyata sudah tiga bulan kami belum melunasi rekening listrik. Inilah yang memaksaku menerima tawaran seorang teman untuk menjadi biduan panggung.
“Eh kamu udah pulang sayang..?” suara mas Hans tiba-tiba mengagetkanku, Dia sudah berdiri tepat dibelakangku. Aku hanya mengangguk, dipeluknya aku dari belakang dan kami berdua menghadap ke cermin besar yang ada di kamar “Lihat wajahmu…..kamu itu memang masih mempesona, berapa lelaki yang malam ini menyentuh payudaramu?.. payudaramu memang indah apalagi pada saat kamu bergoyang,  para lelaki hidung belang itu  pasti suka sekali melihatnya..” begitu sinis suara itu, menusuk-nusuk hatiku.
“Mas, sudahlah…tidak ada seorangpun yang menyentuhnya, mereka hanya bergoyang bersamaku, tidak lebih mas” aku berusaha membela diri.
“Wina..Wina….. aku bukan lelaki bego yang tidak tau bagaimana kelakuan para hidung belang itu di atas panggung, kamu gak usah bohong!!” keras suara mas Hans. Bukan keras suara itu yang menyakitiku tetapi apa yang diucapkannya, begitu rendah dia menilai istrinya sendiri, ku tahan isakanku jangan menangis Wina…jangan !!!…jangan…!!! 
Mas Hans mempererat pelukannya, di sentuhnya bibirku dengan jemarinya,aku hanya diam, aku  berharap mudah-mudahan ini bisa membuat Mas Hans tidak ngomong yang menyakiti hatiku lagi… tapi tiba-tiba dia lepaskan aku dari pelukannya dengan kasar, aku terhuyung, nyaris terhempas, Mas Hans keluar kamar sambil membanting pintu dengan sangat keras. Tak terbendung lagi  air mataku pun jatuh satu demi satu…
Ya Tuhan…kemana mas Hansku yang dulu?
Duhai kabut yang menyelimuti pagi, jangan biarkan bahagiaku mengembara dalam gelap gulita lalu terhempas dalam kelam yang menyesatkan…
Bu…!,  Rian dan Rani mau berangkat sekolah…” suara Rian menyadarkanku, hari sudah pagi, sepanjang malam aku uraikan semua beban yang membeliti jantungku dalam tangisan, kupandangi cermin. Mataku sembab… bagaimana aku harus menyembunyikan semua ini dari kedua anakku.
“Bu….?” Kembali terdengar suara anakku, kali ini suara Rina “Bu, hari ini Rina piket, jadi harus buru-buru, mana ongkosnya Bu?”. “ya, sebentar” kupolesi wajahku dengan make up, terutama bagian mataku, mereka tidak boleh mengetahui kesedihanku..mereka harus menjadi anak-anak normal, seperti anak-anak seusia mereka lainnya.
“Ini uang untuk ongkos dan jajan kalian, hati-hati di jalan..” Rina segera menyambar uang bagiannya, sementara Rian sejenak memperhatikan wajahku, “Ibu tidak apa-apa kan?” aku hanya tersenyum menjawab pertanyaan Rian, sambil menggeleng untuk meyakinkannya.
“Wina, rokokku juga habis” , kuulurkan uang Rp 20.000,- ke tangan mas Hans “Hanya segini Win?”
“Memangnya harga rokok berapa?” tanyaku masih hati-hati
“Aku juga mau ke luar, bosan di rumah terus”
“Tapi Mas, uang ini untuk persediaan kita beberapa hari, aku belum tau apakah dalam minggu ini ada job manggung apa tidak” aku masih mencoba meminta pengertian Mas Hans, aku tidak ingin mas Hans tersinggung dengan penolakanku, aku tau mas Hans sedang mengalami depresi berat, Dia sedang berada di titik yang sangat rendah dalam kondisi seperti ini seorang suami akan menjadi manusia yag paling egois sedunia, demi untuk menutupi segala kekurangannya.
“Kalau begitu goyangan kamu itu murah sekali ya?” pedas, sangat pedas ucapan itu sampai ke teligaku
“padahal kamu sudah menari-nari meliuk-liuk seperti penari bugil, mending sekalian aja jadi pelacur !!!” Di raihnya uang Rp 20.000,- dari tanganku, dan Dia pun menghilang di balik pintu, entah kemana...
Tuhan, kepada siapa nestapa ini harus aku labuhkan…Betapa beratnya penderitaan yang aku tanggung, menjadi biduan panggung  juga bukan pilihan hidupku, tapi aku lakukan untuk menyelamatkan keluargaku…
Malam sudah semakin larut, Rian dan Rina sudah masuk ke kamarnya masing masing, aku masih belum beranjak ke kamar. Mas Hans belum pulang, aku mencemaskannya…hingga kemudian…
“Win..Wina, buka pintu…”
“Ya Mas…” bergegas aku membuka pintu dan mendapati Mas Hans sedang menggandeng  seorang wanita cantik yang usianya jauh lebih muda dariku
“siapa gadis ini Mas?” tanyaku setelah sesaat aku bingung menghadapi situasi seperti ini.
“oh  ya, kenalkan namanya Hesti, Dia cantik kan?” entah apa  maksud mas Hans bertanya begitu padaku
“ Ya..Dia memang cantik, tetapi ada apa kamu membawanya malam-malam begini ke rumah kita?” aku berusaha tetap tenang dan mengusir semua pikiran buruk yang melintas-litas di benakku.
“Wina. Kamu kan tidak punya cukup uang untuk mengurusi aku, biarlah mulai malam ini Hesti yang akan mengurusiku”
“Mas Hans ?! kamu sudah gila apa?” tak ada lagi suara Wina yang lembut, yang penuh pengertian, yang selalu berusaha mengerti keadaan yang menimpa suaminya, aku betul betul meradang, aku tidak peduli lagi ini pukul berapa, aku juga lupa suaraku akan membangukan ke dua anak-anakku
“Ibu….” Benar saja Rian dan Rina sudah ada di samping kiri dan kananku
“Kalau kamu tidak suka kalian boleh pergi dari sini!!!” tanpa memandang kami, Mas Hans masuk ke dalam rumah dengan menggandeng wanita muda itu.
Ya Tuhan, kapan Kau akan akhiri penderitaanku ini, sudah letih hatiku, sudah tak berdaya aku ini ya Tuhan…Kemana mimpi-mimpi yang pernah kami rajut bersama, kemana bahagia yang pernah kami jalani dulu…
 “Bu... kita pergi saja Bu” suara Rian menyadarkanku dari ketidakberdayaanku
“Pergi kemana Nak?, Ibu tidak tau, apa yang dapat Ibu lakukan tanpa Bapak”
“Bu,  selama  ini, Ibu kan berjuang sendiri menghidupi kami, sementara Bapak hanya bisa membuat ibu menagis, tanpa Bapakpun kita pasti bisa lalui ini semua Bu” Tersentak aku mendengar ucapan Rian, Begitu hebat kata-kata yang diucapkannya, Ya… di mata Mas Hans mungkin aku hanya perempuan lemah yang hanya diam bila ditindas, yang akan menuruti semua keinginannya ketika diancam. Yang begitu pasrah  dan tak berdaya.Tidak lagi sekarang…!!! tidak..!!! aku sudah punya Rian yang akan menjadi penguatku ketika aku lemah, yang akan menahanku ketika aku limbung, aku memiliki Rina, yang dengan keceriaanya akan membuat aku  tetap tegar dan menjalani hidup ini dengan tersenyum.
Tanpa basa basi, aku, Rian, dan Rina berkemas, Esok pagi, aku akan mengurus surat pindah sekolah anak-anakku, dan memulai hidup di tempat lain..kami yakin kasih sayang diantara kami akan membuat kami menjadi kuat, dan pilihanku…..aku tidak akan menjadi penyanyi panggung lagi!!


20  November 2011
Saya butuh bantuan dari pembaca untuk meninnggalkan komentar atau masukan sebagai bahan untuk evaluasi..thanks   sebelumya.....

2 komentar:

  1. Mba Wina... ketika dirimu dihadapkan dengan masalah ekonomi yang sangat memprihatinkan, maka hanya keahlianmu sebagai penyanyi saja yang kamu andalkan, walaupun profesi itu tidak disukai oleh suamimu, memang... harus berbuat apalagi sementara kondisi seperti itu... , namun perlu dirimu pahami seharusnya kecantikanmu, keindahan tubuhmu, keramahan prilakumu, dll cukup untuk suamimu dan keluargamu, suami adalah pengganti ongtuamu, yang wajib kamu hormati dan kamu hargai, saya yakin bisanya suamimu bersikap seperti itu karena pada dasarnya suami mana yang rela melihat istrinya memamerkan tubuh, kecantikan dan berliakliuk diatas panggung....., seblum kamu mulai lagi profesimu sebaiknya dipertimbangkan mengingat kamu sudah mempunyai putra dan putri yang sudah remaja dan sudah mengerti baik atau buruknya sebuah profesi ibunya, saya yakin masih banyak pekerjaan yang lebih halal yg tidak mengorbankan perasaan suami dan putra-putrimu, apalagi duniamu sangat rentan dengan image2 negatif dari luar sana, jika tidak ada jalan lain untuk menghasilkan uang, sementara suaamimu blm memiliki penghasilan lagi... ada baiknya kamu ambil job menyanyi yang lebih dihargai, seperti di wedding atau acara pernikahan di rumah yang hanya untuk menghibur para tamu, dan biasanya selesainyapun tidak larut malam, dilihat suami atau putra-putri mba juga masih nyaman...
    , dan perhatian terhadap suamu dan anak2 juga masih lebih banyak waktunya, intinya dibatasilah job2 yang kamu terima, tentunya setiap job melalui persetujuan suami dan anak2, jika suami melarang salah satu job dengan alasan terlalu jauh, atau tempatnya tidak layak sampai larut malam juga, sebaiknya patuhilah suamimu, karena rezeki yang diridhai suami atau istri itulah sebaik2 nya rezeki dari Allah SWT.

    BalasHapus
  2. Mas atau Mbak. Terima kasih atas saran dan motivasinya. Kisah ini sebetulnya hanya fiksi, tetapi saran Mbak atau Mas sangat bermanfaat bagi mereka yang bernasib sama dengan tokoh pada kisah ini.

    BalasHapus

Unggulan

Cerita dari Masa Lalu #2

  Klik untuk membaca bagian sebelumnya Ekspresi kecewa, jelas terlukis di wajah Resti. Menelpon balik? Resti menghilangkan kemungkinan itu....