Sabtu, 29 Agustus 2020

Teknik Penokohan dalam Teks Fiksi



Penokohan dan tokoh tidaklah sama. Tokoh adalah pemeran, orang-orang yang ada dalam cerita. Sedangkan penokohan adalah teknik atau cara yang dilakukan penulis menghidupkan tokoh-tokoh dalam tulisannyanya sehingga pembaca dapat membayangkan atau mengaggap tokoh itu benar-benar ada.


Berikut beberapa teknik penokohan yang dilakukan penulis,
1. Menjelaskan secara langsung
2. Melalui dialog antar tokoh
3. Menggambarkan tindakan atau perbuatan
5. Melalui penggambaran ciri-ciri fisik
6. Pemberian nama

Contoh 1. Menjelaskan secara langsung.
Dia anak yang selalu patuh pada nasihat orang tua, dia juga disayangi oleh guru karena selalu bersikap sopan.

Contoh 2. Melalui dialog antar tokoh
"Kalau dia tidak keras kepala, tentu hal ini tidak akan terjadi," ujar Romi pada Yuli.
"Ya, Anton memang aneh. Dia tak pernah mau mendengar pendapat orang lain, merasa paling benar." Yuli menimpali dengan lebih emosional.

Contoh 3. Menggambarkan tindakan atau perbuatan.
Aini berpamitan seraya mencium punggung tangan Ibu. Dia tak akan berangkat ke mana pun sebelum melihat wajah Ibunya..

Contoh 4. Melalui penggambaran ciri-ciri fisik.
a. Lelaki yang lengannya penuh tato itu tingginya sekitar 1,7 meter. Di bagian pelipis kirinya terdapat garis lurus, mungkin bekas luka.

b. Gadis berhijab yang duduk di bangku taman itu, pemilik senyum paling manis yang aku kenal. Matanya ikut berbinar bila tersenyum. Gadis itu juga memiliki suara lembut bahkan saat tertawa.

5. Pemberian nama.
Setiap manusia pasti memiliki nama, memberi nama pada tokoh fiksi, membuat tokoh itu seolah benar-benar nyata adanya.
Pemberian nama pada tokoh, perlu pula disesuaikan dengan karakter tokoh itu. Nama anak kota tentu berbeda dengan nama anak desa.

Demikianlah, teknik penokohan dalam fiksi.
Semakin sering anda menulis, anda akan semakin mahir dalam menulis fiksi.

Selasa, 25 Agustus 2020

Cerita dari Masa Lalu #2

 


Klik untuk membaca bagian sebelumnya
Ekspresi kecewa, jelas terlukis di wajah Resti. Menelpon balik? Resti menghilangkan kemungkinan itu. Berbeda antara di telpon dan menelpon. Ditelpon, berarti bukan aku yang memulai. Aku hanya merespon sebuah panggilan, batinnya.

Lengan Resti sudah kembali di tuas porsneleng, siap melanjutkan perjalanan. Tiba-tiba gawainya berdering lagi. Dua belas deretan nomor muncul lagi di layar gawai. Bersegera jari telunjuknya menggeser ikon telepon berwarna hijau, jantungnya lagi-lagi berdegup tanpa irama, berkejaran.
"Halo, Re!" Suara Han di seberang sana.
"Halo," sahutnya perlahan, suaranya seolah tersangkut ditenggorokan
"Kamu baik-baik saja, kan?"
"He eh," diiringi anggukan untuk menegaskan dan ini gerakan reflek saja karena dia menyadari ada getar di suaranya. 
"Aku ingin bertemu kamu, bolehkah?"
Resti terdiam. Bukan perkara mudah menjawab ini. Satu sisi hatinya tengah bersenandung riang, melagukan nyanyian cinta masa lalu yang tengah menguasai, tapi ada sisi lain yang mencegah. Aku belum terlalu gila untuk menjadi wanita peselingkuh. Selama ini aku punya kehidupan yang bahagia. Ilham, Fio, adalah masa kiniku. Gejolak hati yang hanya melahirkan rasa duka. Rasa menderita, rasa yang sama dengan yang dirasakannya saat kehilangan Han, dulu. Tak disadarinya dua butir air mata bergulir di wajahnya.
"Re?" Suara Han kembali terdengar.
"Maaf kalau aku menyinggung perasaanmu," lanjutnya.

Resti masih bergeming. Tak lama kemudian dia mengakhiri percakapan dengan mennyentuh ikon telepon berwarna merah. 

Resti menggerakan tangannya, memasukkan gigi  dengan sembarangan, tersirat kegelisahan pada gerakannya. Terdengar suara  bunyi gir beradu. 

Kaki kanannya menginjak pedal gas terlalu keras,  mobil meraung dan Resti terkejut. Spontan matanya melirik ke kiri dan kanan, beberapa pasang mata memang tengah memandang ke arahnya. Dengan perasaan tak enak, Resti melaju meninggalkan orang-orang yang masih memperhatikan.

Ruangan kerja Ilham ada di lantai 15, agak jauh dari lift, hal ini yang membuat Resti jarang mau naik ke atas. Seperti saat ini, dia memilih duduk di lobbi, tadi dia sudah menelpon Ilham untuk memberitahukan kedatangannya. Tak menunggu terlalu lama, Ilham terlihat keluar dari lift.

Berkas sudah pindah ke tangan Ilham,
"Sudah makan? Kalau mau makan ke kantin belakang, aja? Resti hanya menggeleng.
"Nanti saja,di rumah." Resti sudah terbiasa dengan gaya Ilham. Dia hanya memberi saran, bukan mengajak. Dia juga tidak akan menemani. Ilham melakukan segala sesuatu secara efisien, logis, dan tanpa basa basi. Dia tidak akan membuang waktu duduk di kantin bila hanya untuk menemani, buang-buang waktu, begitu pendapatnya.

Terkadang Resti iri pada teman-temannya. Ingin sekali-sekali diberi kejutan manis, diajak makan malam romantis berdua saja, atau apalah bentuknya. Tapi, bukan Ilham namanya, kalau mau melakukan hal itu.

Resti sudah lama berkompromi dengan segala ingin yang ada di hatinya, terutama dengan sikap Ilham. Dia berusaha untuk juga menjadi logis. Selama ini Ilham setia, bertanggung jawab, dan memberikan keleluasaan pada Resti untuk beraktivitas. Resti sudah merasa cukup. Entah mengapa, kehadiran Han mengubah keadaan. Dia tak lagi merasa baik-baik saja.






selanjutnya

Sabtu, 22 Agustus 2020

Ambulan di Seberang Jalan


Suara gaduh di luar pagar rumah membangunkan Aini dari tidur siang yang sebenarnya sangat jarang dinikmatinya. Dia mengintip ke luar melalui jendela kamar yang menghadap ke jalan raya. Sebuah mobil ambulans terparkir dan beberapa orang, tidak jelas jenis kelaminnya karena pakaian mereka layaknya seperti makhluk luar angkasa, masuk ke rumah Pak Joko yang tepat berseberangan dengan tempat Aini berdiri sekarang. 

"Tak disadarinya Ibu yang membuka pintu kamar dan menghampiri. 

"Pak Joko mau dibawa ke Jakarta," ujar Ibu setelah ada di sisi Aini dan ikut mengamati dari balik jendela. 

"Sakitnya tambah parah?" tanya Aini tanpa melepaskan pandangan dari kesibukan orang-orang di luar sana.

"Iya, ternyata Pak Joko positif." Sejak melihat pakaian orang-orang yang masuk ke rumah Pak Joko tadi, Aini sudah menduga. 

"Kasian, ya Bu. Oh, iya, Bu Jokonya bagaimana?" Ikut ke Jakarta juga? Kasian anak-anaknya. Mereka kan masih kecil-kecil. Siapa yang akan menemani?" Aini memberondong Ibu dengan pertanyaan beruntun, Ibu tak menjawab. Mungkin Ibu belum punya informasi tentang hal itu.

Mobil ambulans sudah berangkat membawa Pak Joko. Orang-orang yang tadi melihat dari kejauhan, sudah membubarkan diri pula. 

"Sepertinya hanya Pak Joko yang ke Jakarta. Bu Joko mungkin negatif," Aini bersuara lagi.

"Mudah-mudahan saja. Tapi, mereka harus karantina mandiri, kan?" Sekarang giliran Ibu yang bertanya. Aini juga tak menjawab. Beberapa saat kemudian dia baru menanggapi,

"Kalau Pak Joko positif, kemungkinan Ibu Joko juga positif. Tapi karena belum keluar hasilnya, beliau harus karantina mandiri, sampai dinyatakan negatif, kalau tidak salah, begitu Bu." 

"Terus kita tetangganya?"

"Kalau selama ini Bu Joko sering ke luar rumah dan bergaul akrab, tanpa jaga jarak dengan orang-orang sekitarnya, kita juga akan diperiksa dan harus karantina.Wah gawat ini. Aku bisa pinsan kalau disuntik."

"Pemeriksaan SWAB tidak disuntik, Neng," Ibu meluruskan.

"Maksud aku rapid test," Aini menutup mulut dengan telapak tangannya. 

"Jadi sekarang kita harus bagaimana?" Ibu yang paling tenang se dunia ini, ternyata bisa paranoid juga.

"Selama ini kita sudah disiplin, Insya Allah, kita akan baik-baik saja.Yang sekarang harus kita carikan jalan keluarnya adalah membantu Bu Joko memenuhi kebutuhan hidupnya."

"Iya, nanti kita ajak Ibu-ibu sekitar sini untuk membantu."

Di luar keadaan sudah kembali normal. Rumah Pak Joko tampak sepi. Bu Joko dan anak-anak harus karantina mandiri.

Mobil ambulan yang membawa Pak Joko menghilang di ujung jalan yang agak berkelok, meninggalkan raungan sirine yang semakin lama semakin perlahan lalu senyap.

Bu Joko meraih lengan anak pertamanya yang baru berusia 8 tahun sedangkan anak kedua yang baru berusia 1 tahun tetap berada dalam gendongan. Bertiga mereka masuk ke dalam rumah, memulai karantina. Gadis kecil 8 tahun itu, Aida, sempat hendak menepis lengan mamanya saat melihat beberapa anak bermain sepeda. Bu Joko mempererat pegangannya, Aida melirik wajah Bu Joko mencari jawaban atas kebingungannya, mungkin juga protes.

Bu Joko mengambil beberapa kertas hvs dan pinsil lalu mengajak mereka menggambar. Kedua anak itu kemudian asyik mencorat-coret kertas, Aida mengambar gunung dan sawah seperti yang dia lihat di lembar kalender yang tergantung di dinding sedangkan Defan hanya membuat coretan-coretan tak berbentuk.

Ternyata anak-anak tak bertahan lama menikmati kegiatan itu. Aida kini tampak gelisah, sebentar-sebentar menengok ke luar lewat jendela. Di lapangan bulu tangkis yang hanya terhalang tanah kosong, anak anak semakin ramai. Aida menunggu saat yang tepat agar bisa pergi ke sana.

Bu Joko bisa merasakan keresahan Aida. Biasanya pada jam-jam sebegini dia bermain bersama teman-temannya. Anak seusia Aida pasti tak suka bila harus di rumah saja. Bermain bersama teman adalah aktivitas utama mereka.

"Ma, boleh pinjam HP?" Aida berusaha mencari kegiatan lain. BU Joko kebingungan. Dia tahu benar bahaya radiasi gudget bagi anak. Keponakannya ada yang harus mengikuti terapi karena matanya nyaris buta. Bahkan dia pernah mendengar ada anak yang tangannya terus bergerak sendiri, seperti gerakan bermain games akibat terus menerus bermain game di gadget. 

"Boleh ya, Ma?" Aida mulai merengek.

"Boleh, tapi kita buat kesepakatan dulu," Bu Joko mengalah. 

"Apa sih kesepakatan?" Aida tak paham.

"Kita atur, main HP-nya berapa jam," Bu Joko menjelaskan. 

"Berapa jam, Ma?" Aida bersemangat lagi.

"Paling lama 30 menit, setelah itu kembalika ke Mama.Aida mengangguk, dia belum bisa memperkirakan waktu yang dibutuhkannya. Baginya yang penting Mama mengijinkan memakai HP.

Duduk di balik jendela menjadi sering dilakukan Aini sejak Keluarga Pak Joko dikarantina. Lewat jendela itu pula dia memerhatikan Aida yang juga sering berada di balik jendela rumahnya. Aini bisa melihat kemurungan bocah 8 tahun itu. Terkadang dia mendengar suara Aida menangis keras, minta dibolehkan keluar.

Sesekali terdengar pula suara Bu Joko memarahi Aida, Bu Joko pasti tertekan dengan semua keadaan itu.

"Ay!" Ibu yang tadi terlihat sibuk membantu Bi Ida menyiapkan pesanan seblak sekarang sudah ada di depan pintu kamar, Aini menghampiri Ibu

"Ada apa, Bu?" tanyanya setelah dekat.

"Antar Ibu ke rumah Bu RT." Tanpa menjawab Aini langsung mengeluarkan kunci motor dari dalam laci meja kecil tempat menyimpan riasan. 

"Jalan kaki saja, supaya badan bergerak," 

"Panas, Bu,"  

Akhirnya disepakati untuk naik motor saja.

Dalam perjalanan Ibu menjelaskan maksudnya berkunjung ke rumah Bu RT. Ternyata Ibu juga prihatin dengan kondisi Bu Joko dan anak-anaknya. 

"Ibu mau minta ijin Bu RT, menggalang dana dari warga,"

"Maksud Ibu dana untuk Bu Joko?" Ibu mengiyakan. 

Rumah Bu RT tidak terllalu jauh, tak sampai 10 menit mereka sudah sampai.

Rumah bercat hijau dengan taman kecil yang tertata dengan rapi, terlihat asri. Bu RT rupanya sudah menunggu karena Ibu sudah mengabari sebelum berangkat.

Tak terlalu lama berbasa-basi, Ibu pun menguraikan maksudnya. Bu RT menyimak.

"Saya setuju, sangat setuju! Tapi, masalahnya, warga kita agak beda, agak susah kalau dimintai donasi. Giliran dapat BLT, dijadwal jam 12.00, jam 06.00 pagi sudah sampai di lapangan." Ibu dan Aini hanya tersenyum menanggapi cerita Bu RT.

Ibu terus berusaha meyakinkan Bu RT, akhirnya Bu RT menyetujui dan menjadi donatur pertama. Pada baris berikutnya nama Ibu dan Aini, juga Bi Ida telah mengisi lis pengumpulan donasi itu

Tiga hari Ibu sibuk berkeliling mengumpulkan donasi untuk keluarga Pak Joko, Ibu tidak hanya mendatangi tetangga satu RT, tapi juga mengirim pesan WA ke murid-murid madrasahnya yang sudah mampu.

Sore ini Ibu mulai menghitung jumlah uang yang terkumpul. Di atas meja berserakan uang lima ribuan, sepuluh ribuan, dan ada beberapa uang lima puluhan ribuan.

"Dapat berapa, Bu?" Aini menghenyakkan tubuhnya di kursi panjang, di samping Ibu. 

"Ibu baru mengecek jumlah yang ditransfer ke rekening. Oh, ya. Tolong periksa di WA Ibu, siapa saja yang konfirmasi sudah transfer, sekalian jumlahnya." Aini mengambil gawai Ibu dan memeriksa pesan masuk, sesuai permintaan, lalu mencatat di kertas selembar.

Lama juga Aini dan Ibu merekap seluruh dana yang masuk.

"Ini amanat, kita harus teliti. Tak boleh ada yang terlewat dan tak tersampaikan ke yang berhak." 

"Iya, Bu," jawab Aini sambil mengangguk.

Setelah selesai merekap, Ibu menelepon Bu RT dan membicarakan rencana selanjutnya. Aini yang mendengar percakapan itu teringat pada Aida. Aida yang berdiri di balik jendela melihat teman sebayanya bermain dengan tatapan sedih.

"Bu, kalau bisa sih, jangan semuanya diberikan ke Bu Joko dalam bentuk uang atau sembako. Beli mainan edukasi untuk Aida." 

"Tapi, sembako yang mereka butuhkan sekarang." nada suara Ibu menunjukkan ketaksepakatan. 

"Bu, anak seusia Aida kalau harus di dalam rumah terus, sedangkan dia juga melihat teman-temannya ramai di luar, pasti dia tertekan." Aini berargumen. Sejenak Ibu tercenung. Ibu juga pernah melihat pemandangan yang sama dengan Aini. 

"Saranmu, kita belikan apa?" lanjutnya kemudian.

"Mainan edukasi saja. Ada papan tulis bersuara, pasti dia suka. Aku pernah lihat di toko online. Tidak terlalu mahal, paling sekitar Rp150.000,-," jelas Aini.

"Mahal juga ya," Ibu meragu.

"Bu, anak-anak kalau tertekan, malah biaa sakit," Aini berusaha meyakinkan.

"Yasudah, kamu yang pesan."

Aini bahagia karena yakin besok dari balik jendela kamarnya akan melihat lagi senyum ceria di wajah Aida

Rencananya pagi ini Ibu bersama Bu RT akan menyerahkan sumbangan untuk Bu Joko. Sejak tadi malam Ibu sudah menyiapkan masker, sarung tangan karet dan cairan antiseptik.

"Sebetulnya gak enak juga memakai pakaian begini ke rumah Bu Joko, tapi ini kan untuk keselamatan kita semua," ujar Ibu sambil mengencangkan tali maskernya.

"Perginya dengan Bu RT?" tanya Aini yang dijawab Ibu dengan anggukan.

Masker sudah terpasang erat menutupi sebagian wajah Ibu, sarung tangan karet pun telah pula dikenakan. Cairan antiseptik dimasukkannya ke dalam tas.

Suara ketukan dan salam terdengar dari arah pintu depan. Aini bergegas menghampiri. Saat membuka pintu dilihatnya Bu Ati sudah berdiri di situ. 

"Ibu ada?" tanya Bu Ati di detik berikutnya.

"Ada, silakan masuk, Bu!" Setelah menyilakan Bu Ati duduk, Aini bermaksud memberitahu Ibu, tapi ibu sudah muncul dari balik pintu kamar. 

"Oh, Bu Ati. Saya dan Bu RT mau ke rumah Bu Joko sore ini, Bu Ati mau ikut sekalian?" 

"Oh, tidak...terima kasih. Saya hanya mau mengantarkan ini." ujar Bu Ati sambil menyerahkan sebuah amplop kecil berwarna putih lalu berpamitan. Sikap Bu Ati yang gugup dan terburu-buru membuat Aini bertanya-tanya. 

"Bu Ati kok sikapnya aneh, ya Bu?"

"Aneh kenapa?"

"Seperti tidak nyaman,"

"Sebetulnya dua hari yang lalu Ibu sudah ke rumahnya, dia yang pernah Ibu ceritakan itu, dia tidak setuju dengan penggalangan dana. Dia bilang tokonya sekarang sepi. Boro-boro ngasih sumbangan," 

"Terus?"

"Ya, tidak pake terus! Ibu pamit, dan bilang semoga warungnya ramai lagi dan bisa menjadi ladang amal. Dan semoga kita semua selalu dalam lindungan Allah."

"Mungkin karena kata-kata Ibu itu," Aini menduga-duga.

"Itu kan kata-kata biasa. Ibu tidak menyindir." Ibu panik.

"Jangan baper dong. Mungkin kata-kata Ibu menyentuh kesadarannya untuk tetap beramal."

"Mudah-mudaha begitu. Ibu jadi gak enak."

"Ih, jangan baper. Bu Ati datang ke sini tanpa ada yang memaksa. Ini tentu karena kesadarannya sendiri. Karena ada hidayah dari Allah."

Tak lama setelah kepulangan Bu Ati, Bu RT sudah memarkir motornya di depan rumah. Berdua, dengan mengenakan masker dan sarung tangan karet, mereka mengetuk rumah Bu Joko.

*****

Sore ini Aini kembali berdiri di depan jendela kamar. Pandangannya lurus ke depan. Ke seberang jalan, ke jendela rumah Bu Joko. Bila di tarik garis maka akan terbentuk garis lurus yang menghubungkan dua jendela itu. Di balik jendela rumah Bu Joko Aini bisa melihat Aida yang sedang asik bermain sambil belajar membaca melalui papan bersuara yang kemarin sore dibawakan oleh Ibu.

Tamat


Rabu, 19 Agustus 2020

Cerita dari Masa Lalu #1



 "Gila, rasa apa ini?"

Resti nyaris membanting gawainya, sudah beberapa hari ini dia melakukan kekonyolan. Bangun tidur memeriksa gawai hanya untuk tahu apakah ada pesan dari Han. Dan dia akan memulai hari dengan senyum ketika Han menyapa walau hanya dengan sebuah kalimat pendek, bahkan hanya dengan sebuah sticker emot sekalipun.

Han adalah masa lalunya, seseorang yang pernah mengisi hampir seluruh rongga di hatinya. Cinta yang sesungguhnya tak pernah berakhir, tetapi harus disudahi.

"Mah, lihat buku yang tadi malam di atas meja ini?" Suara Fio, gadis kecilnya yang akan berangkat sekolah.
Rasti menunjuk ke arah rak buku yang ada di samping Fio.
"Tadi Mama simpan ke situ."
Fio menuju rak buku, sementara Resti langsung mengambil kunci mobil dan beranjak ke garasi. Kegiatan rutin Resti pagi hari, mengantarkan Fio sekolah. Ilham, suaminya sudah sejak pukul enam pagi berangkat menuju kantor. Tinggal di perumahan di luar kota, memang ini risikonya, memulai semua pekerjaan sebelum matahari terbit.

Selamat pagi, Re... dan gambar sekuntum bunga dikirim Han pagi ini, Resti membalas dengan gambar dua telapak tangan yang disatukan, sebagai ucapan terima kasih.
Hanya itu, tak lebih. Tapi, Resti seakan kembali berada pada masa bahagia bersama Han. Ketika bunga-bunga cinta bermekaran di sekitar mereka.

Resti kini melaju menuju sekolah Fio, pohon-pohon palem yang berjajar di sepanjang jalan dalam komplek perumahan, menebar aroma khas. Pagi ini sangat sempurna. Udara pagi yang sejuk dan sapa manis Han menjadi penyebabnya. Sambil menyetir dia bersenandung, mendendangkan lagu-lagu lawas, yang biasa dianyanyikan bersama Han.

Mobil kemudian berhenti di depan gerbang sekolah Fio, setelah memastikan Fio sudah melewati gerbang itu, Resti kembali melaju di jalan raya, pulang. Sambil menyetir, sesekali matanya melirik gawai yang diletakkannya di dasboard, berharap Han akan meyapanya lagi.

Suara getar gawai seiring suara Aurel dengan lagu Kepastian yang menjadi nada dering, menarik perhatian Resti. Dadanya berdebar kencang, Han menelpon? segera lengan kirinya meraih gawai dan mendekatkan ke telinga,
"Ma, berkas-berkas yang Papa perlukan untuk meeting sore ini, tertinggal di rumah. Bisa tolong antarkan ke kantor?" Ilham di seberang sana.
"Oke, tunggu sekitar 30 menit,"
"Jangan ngebut, meetingnya nanti jam empat," tukas Ilham.
"Siap, Boss!"
"Terima kasih."

Ilham berbeda dengan Han. Dia bicara sekadarnya. Tak pernah menelpon kalau tak penting. Tak pernah mengumbar kata cinta. Katanya, cinta terlalu sakral untuk diumbar, cinta yang sesungguhnya ada di hati dan rasa, bukan di dalam ucapan. Han mencintai keluarga dengan bekerja keras dan tetap setia.

Resti mengenal Ilham melalui sahabatnya. Ilham yang dewasa, bijaksana, memiliki masa depan cerah sungguh ideal dijadikan sebagai suami. Ilham juga berpenampilan menarik, berjalan di sampingnya membuat Resti bangga, lalu mereka menikah. Han yang saat itu entah di mana jejaknya, memaksa Resti melupakan cinta mereka.
Walau sebenarnya, dia tak pernah benar-benar berhasil.

Han, mereka dipertemukan di SMA, sama-sama murid baru. Bedanya, Resti murid baru di kelas X dan Han anak pindahan di kelas XII. Han dengan santainya menyelusup di antara peserta dan mengaku sebagai panitia OSPEK, korban yang dikerjainya adalah Resti. Dia menyuruh Resti menyanyikan sebuah lagu sambil berlari-lari mengelilingi posko panitia. Sementara Resti melakukan tugasnya, Han sudah kabur entah ke mana.

Perkenalan yang tak akan pernah bisa dilupakan oleh Resti, walau awalnya membuat Resti marah besar, pada akhirnya mereka malah menjadi akrab dan saling jatuh hati.

Han, dengan gaya tak acuhnya, dalam urusan cinta ternyata penuh perhatian, terkadang sangat mengejutkan. Dia bisa melakukan hal konyol dan tak tahu malu, menyerahkan sebuah buket yang terbuat dari daun tanaman pagar sekolah, di tengah lapangan basket. Han juga tak segan membawakan tas Resti sampai ke dalam kelas. Mulanya Resti yang malu, tapi lama-lama dia terbiasa.

Cerita cinta Resti dan Han, menjadi kisah roman yang dibicarakan seantero sekolah, layaknya cinta dua artis idola yang tengah viral saat ini.

Resti telah membawa berkas berkas yang diminta Ilham dalam kendaraannya. Mobil yang dikendarainya bergerak perlahan di tengah kemacetan. Dia memang tak harus buru-buru karena baru pukul 10.00. Dia juga ingat pesan Ilham agar tak ngebut di jalanan.

Gawainya berdering lagi, Resti membiarkan alunan lagu Kepastian memenuhi kendaran. Di depan sebuah pusat perbelanjaan dia menepi dan memarkir kendaraan kemudian  memeriksa gawainya. Dua belas angka berderet yang sangat dia kenal, sengaja tak diberi nama, ada di layar gawai. Resti tak segera menelpon balik, dipandanginya saja gawai yang ada di atas pangkuan. Han aku di sini. Tapi, hingga lima belas menit menunggu, Han tak menghubunginya lagi.
Klik untuk melanjutkan















Selasa, 11 Agustus 2020

Pulang


 Pulanglah, Nak. Sudah terlalu lama. Semua sudah terjadi dan tak akan bisa diperbaiki lagi. Setidaknya pulanglah untuk kami. Keluarga yang selalu menyayangi dan merindukanmu.


Bagian akhir surat ibu yang diterima Lulu seminggu lalu. Surat itu dibawakan Ratri yang baru saja mudik. Lulu membacanya berulang-ulang. Kerinduan pada keluarga yang selama ini berhasil kalah oleh ego dan rasa kecewa yang bersemayam dalam hatinya, mendesak-desak rongga dadanya dan menimbulkan rasa nyeri.

Surat ibu telah berulang kali dibacanya sehingga dia hapal betul isinya, apa lagi bagian akhir surat itu.

"Lu, menurutku, memang sudah saatnya kamu pulang. Kasian ibumu. Sudah tiga tahun, Lu." Ratri teman sekampung yang sekarang menampungnya di Jakarta memulai percakapan malam itu.
"Aku tahu, peristiwa itu sangat menyakiti hatimu, tapi melarikan diri seperti ini juga bukan solusi. Belum cukup kamu menghukum kedua orang tuamu? atau kamu berprasangka mereka memang menginginkan kejadian itu?"
"Entahlah, Tri. Awalnya aku sudah menolak, tapi mereka selalu membicarakan hal itu, hampir setiap hari sampai aku bosan dan akhirnya mengiyakan...lalu peristiwa itu terjadi."

Sebutir bening menggantung di sudut matanya, disekanya sebelum benar-benar jatuh.
"Kamu harus bisa melihat dari sisi pandang mereka, Lu. Mereka menginginkan kebahagiaanmu, itu yang utama." Ratri masih berupaya membuka hatinya.
"Mereka menginginkan kebahagiaan mereka sendiri. Mereka berharap aku bisa mengubah segalanya." Wajah Lugu Lulu kini memyiratkan kemarahan yang masih tersimpan.
"Sudah tiga tahun, Lu. Tidak bisakah kamu memahami kesederhanaan dan keluguan mereka? Aku ini hanya temanmu, bukan siapa-siapa bagi mereka, tapi aku masih bisa memahami itu, Lu. Kenapa hati kamu begitu tertutup?" Ratri tak bisa lagi menahan ucapannya. Dia ingin hidup Lulu bahagia. Dia tak tega melihat teman masa kecilnya terus menerus terbelenggu dalam rasa marah dan kecewa yang tentunya menyakitkan.

Lulu hanya diam, hatinya bergemuruh. Sebenarnya dia sendiri tak tahu pada siapa kemarahan ini ditujukan. Orang tuanya, laki-laki pembobong itu, atau pada Tuhan. Dia menutup wajah dengan kedua telapak tangan, suara isakan lirih terdengar.

Ratri memeluk Lulu. Matanya ikut mengembun.
"Maaf, Lu kalau ucapanku melukaimu," ujarnya kemudian.
"Aku bingung, Tri. Aku merindukan mereka, sangat rindu. Tapi, di sana, di kampung kita akan ada tatapan-tatapan kejam. Mereka akan menuduhku sebagai perebut suami orang. Aku tidak siap, Tri."
Ratri semakin mempererat pelukannya, tangannya mengusap-usap punggung Lulu dengan lembut.

_______

Perhelatan sederhana tengah berlangsung. Pengantin cantik dengan seorang pemuda kota duduk bersanding di pelaminan berwarna putih. Perhelatan yang menjadi perbincangan banyak orang. Ada yang kagum bahkan ada pula yang ikut bersyukur karena gadis sebaik Lulu dipersunting pemuda kota yang terlihat mapan. Tapi, ada pula yang menatap iri. Mulut mereka mendesis-desis seperti suara ular menebar racun ke mana-mana.

Tamu undangan terus berdatangan, semua orang tampak sibuk. Perempuan-perempuan muda berdandan menor ikut memeriahkan suasana perhelatan. Nasi dan lauk pauk tak henti-henti ditambahkan.

Meriahnya suasana pesta membuat orang tak menyadari saat seorang perempuan muda dengan anak kecil sekitar 5 tahun yang menemaninya telah berada di atas pelaminan. Secara agresif dia menyerang Lulu disertai kalimat-kalimat makian. Lulu yang kebingungan tak bisa berbuat apa-apa. Pemuda yang ada di sampingnya seperti kerbau dicucuk hidung saat ditarik perempuan itu turun dari pelaminan dan akhirnya menghilang bersama kendaraan yang terparkir di pinggir jalan.

Suasana bahagia yang tadi menyelimuti hati seluruh keluarga tiba-tiba saja berubah. Semua orang kasak- kusuk, berbisik-bisik ada yang bersimpati dan tak sedikit pula yang mencemooh.
"Oh, jadi itu suami orang."
"Gak nyangka, kok dia mau menikah dengan suami orang?" dan masih banyak lagi kalimat-kalimat ejekan lain yang terdengar. Lulu merasa dunianya menjadi gelap. Dia lari ke kamar dan mengurung diri di sana. Tak ada yang bisa membujuknya.

Hari masih gelap. Sebagian orang masih terlelap. Hanya Ayah dan Ibu yang duduk tepekur menatap lantai di ruang depan.
Perlahan Lulu membuka pintu kamar. Tangan kananya menjinjing tas berisi pakaian.
"Ayah, Ibu aku pamit. Aku mau ke Jakarta.'
Ayah dan Ibu tak berdaya mencegah. Perdebatan kecil sempat terjadi, tapi tekad Lulu terlalu kuat untuk dihentikan. Dengan berat hati mereka melepas kepergian Lulu.

Tiga tahun sudah Lulu tak pulang. Pulang baginya adalah luka. Dia bahkan mengabaikan kerinduan kepada kedua orang tuanya. Tapi, surat Ibu yang terakhir dan ucapan Ratri menggoyahkan kekerasan pendiriannya.
Foto Ayah dan Ibu yang diperlihatkan Ratri mengusik hatinya. Betapa cepat mereka menua. Ada penderitaan di mata mereka.

Hari ini Lulu memutuskan untuk pulang. Dia ingin menghapus derita kedua orang tuanya. Selama ini dia berusaha menyembuhkan lukanya sendiri, tapi pada saat yang sama dia semakin memperparah luka di hati kedua orang tuanya. Aku mau pulang, bisik hatinya.
Tapi, luka Lulu dan kedua orang tuanya belum dapat disembuhkan. Tak ada tiket pulang yang bisa diperolehnya. PSBB dan larangan mudik membuatnya masih harus menunggu entah sampai kapan.


Tamat







Senin, 10 Agustus 2020

Aku Gak Mau Dia Jadi Wali Nikahku

 


"Kapan aku boleh ketemu Bapakmu? 

"Gak usah, kamu datang ke Ibuku saja."

"Gak bisa gitu dong! Nanti siapa walinya?"

"Aku gak peduli, pokoknya aku gak mau Bapak ikut campur dengan urusanku."

Pertengkaran kecil kembali terulang. Nyaris setiap kali bertemu dan membahas tentang rencana lamaran, selalu ada pertengkaran. 

"Tris, kalau begini terus, kapan jadinya? Atau sebetulnyan kamu sengaja ngulur-ngulur waktu supaya rencana pernikahan kita gagal?" Suara Didi meninggi, rupanya dia mulai bosan dengan perdebatan yang berkepanjangan. 

"Coba jujur, sebenarnya kamu mau enggak aku lamar?" 

Tris menatap Didi dengan sorot mata tajam, pipinya membulat, lekuk bibirnya melengkung ke bawah. Tak lama kemudian dia berdiri.

"Aku udah bilang, aku mau kamu lamar, tapi aku enggak mau kamu datang ke Bapak. Aku tinggal sama ibu, jadi ngelamarnya ke Ibu." Suara Tris tak kalah kerasnya dari suara Didi, bahkan jauh lebih melengking sehingga orang-orang yang ada di sekitar pantai, sama-sama duduk di tumpukan batu yang sengaja di pasang untuk mencegah abrasi, bahkan yang tengah berendam di air laut, menoleh ke arah mereka.

"Jangan berisik, malu." Didi memelankan suara sambil meletakkan telunjuk di depssn mulut.

Tris tersadar, dia menoleh ke kiri dan kanan, orang-orang memalingkan wajah seolah-olah tak mendengar dan tak memperhatikan.

Tris menarik lengan Didi, melangkah dari satu bongkahan besar batu ke bongkahan lainnya kemudian melompat turun.

"Mau kemana, Tris?" Didi yang berjalan mengikuti Tri bertanya.

"Pulang!"

"Tris, kita harus selesaikan dulu. Orang tuaku sudah aku minta melamar kamu, mereka selalu bertanya, "Kapan, kapan", pusing jadinya." Didi terus saja bicara walaupun Tris tak memperdulikannya.

Sesampainya di rumah, wajah Tris masih saja cemberut. Dia langsung masuk kamar dan membiarkan Didi salah tingkah sendiri. 

"Kenapa dia?" Ibu bertanya pada Didi, yang memang sudah sangat dikenalnya. 

"Maaf, Bu. Tris gak mau aku melamarnya ke Bapak, tapi kan yang bisa menikahkan Tris dan aku, Bapak. Tris maunya Bapak gak usah dikasih tau. Saya jadi bingung. Kata orang tua saya, selama Bapak masih ada, maka yang berhak menikahkan anak perempuan hanya Bapaknya," Didi akhirnya menceritakan semua pada Ibu.

Setelah mendengar cerita dari Didi, Ibu menghampiri Tris di kamar. Gadis 23 tahun, pemilik mata bundar dan hidung lancip itu tengah berbaring menelungkup. Kepalanya menghadap ke dinding. 

Ibu mengusap punggung anak tunggalnya itu. Ibu sangat paham mengapa Tris tak bisa menerima kenyataan bahwa dia masih punya seorang bapak. Hidupnya terlalu pahit. Tris yang semasa kecil sangat dimanjakan Bapak, tiba-tiba harus kehilangan. Bapak kepincut seorang janda, pemilik motor yang dipakai Bapak ngojeg. Bapak rela meninggalkan keluarga demi memiliki motor, kabarnya Bapak langsung dapat jatah motor baru setelah menikah dengan perempuan itu. 

Setelah Bapak tak lagi memperdulikan mereka, Ibu pontang panting mencari nafkah untuk kehidupan mereka berdua. Pagi Ibu pergi ke rumah-rumah tetangga untuk menawarkan tenaganya, terkadang ada yang menyuruhnya mencuci pakaian, ada pula yang minta tolong dimasakkan, tak jarang yang memintanya merapikan rumput di taman. Tri kecil terpaksa di rumah sendirian, paling tetangga sebelah yang kadang-kadang menengok dan memberinya jajanan. 

Kehidupan mereka yang susah, tak menghentikan semangat Ibu menyekolahkan Tris hingga akhirnya dia tamat SMK jurusan akuntansi kemudian bekerja di sebuah wedding Organizer sebagai staf keuangan.

"Tris, Ibu ngerti kamu masih marah sama Bapak," Ibu memulai dengan suara lembut.

"Tapi, kamu gak bisa menafikkan bahwa kamu adalah anaknya,"

"Aku gak mau! Aku gak punya Bapak," Tris membalik tubuhnya, sekarang terlentang menghadap Ibu. Air matanya merembes melewati telinga. 

"Bapak kan masih hidup, jadi dia yang harus jadi wali,"

"Bapak sudah mati, Bu," Tris kini membelakangi Ibu.

Ibu menarik nafas dalam-dalam, sebelum kembali membujuk anak semata wayangnya.

"Kamu gak bisa nikah kalau gak ada wali,"

"Si Upit, bulan lalu nikah enggak sama Bapaknya," Tris berargumen.

"Itu karena Bapaknya ada di Malaysia."

"Kalau mau, dia kan bisa pulang," 

"Tidak sesederhana itu, Bapaknya Upit harus wajib lapor karena kedapatan menjadi kurir barang terlarang, dia tidak bisa keluar dari Malaysia."

"Tris, satu hal yang tidak bisa kamu tolak, di darahmu ada darah Bapakmu. Kamu anak kandungnya dan dia wajib menjadi wali nikahmu."

Tris tak bersuara, tapi hatinya masih belum bisa menerima semua penjelasan Ibu. Perihnya kehidupan yang dirasakannya selama ini, menyisakan kemarahan yang susah diobati.

@@@@

“Tris, keluargaku akan datang Minggu depan ke rumahmu,” percakapan Didi dan Tris di salah satu sudut warung baso, masih tentang rencana lamaran.

“Ke rumah Ibuku, kan?” 

“Ya, sesuai maumu. Lamaran dan acara,  semua di rumah Ibu, tapi untuk akad Bapakmu harus datang dan jadi wali,” Didi  sangat hati-hati bicara pada Tris. Dia tak mau Tris ngambek lagi.

“Di, kita gak usah nikah aja. Aku tetep gak mau kalau dia yang jadi wali nikahku,”

“Tris, kok gitu, sih? Aku mau nikah sama kamu. Keluargaku semua sudah tau, kalau dibatalkan berarti kamu bener bener pengen mempermalukan aku.”

“Kamu pikir aku gampang ngomong kayak tadi? Tapi kamu maksa aku ngomong kayak gitu. Kamu gak ngerti gimana sakitnya diabaikan, ditinggalkan, dilupakan. Mengapa tiba-tiba saja dia harus menjadi bagian penting dalam hidup aku?” ragu-ragu Didi menyentuh lengan Tri, menenangkannya dengan usapan.

"Tris, kita ini hanya manusia. Hanya berkewajiban menjalani apa yang sudah ada aturannya. Dia,  Yang Maha Mengatur ini yang paling tau yang terbaik bagi kita," Tris tak menjawab. Kepalanya masih tertekuk menghadap lantai.

Sementara itu di sudut lain warung baso, tempat mereka saat ini berada, seorang lelaki paruh baya hanya tertunduk  menahan sesak, dia tak mampu lagi menelan sesendok kuah baso yang baru disorongkannya ke mulut.

Ditulisnya beberapa baris kalimat di dua lembar kertas nota yang dimintanya dari pedagang baso.

Tris, Bapak minta maaf. Bapak banyak dosa sama kamu. Kalau kamu enggak mau Bapak jadi wali, Bapak ikhlas. Bilang saja sama penghulunya, Bapakmu enggak ada. Bapak  tetep doain kamu supaya dapat jodoh yang baik, gak punya adat seperti Bapak.

Di lembar nota ke dua, Lelaki itu menuliskan izinnya untuk menikahkan anaknya. Kalimat yang ditulisnya tidak cukup rapi, tapi lumayan bisa dipahami maksudnya.

Lelaki iu lalu menyelinap keluar lewat pintu samping, setelah membayar semangkuk baso yang ditinggalkannya begitu saja. Kertas nota yang tadi dtulisinya dititipkannya supaya diberikan ke Tris. 

Usai membaca surat pendek di atas kertas nota, Tris berdiri dan mencari-cari keberadaan bapaknya, tapi sudah tak tampak. Tris berusaha mengejar ke luar warung baso, juga tak terlihat.

Lamaran itu akhirnya berlangsung juga. Setelah itu Tris dan Didi  berusaha menemukan Bapak. Tapi seminggu kemudian mereka dapat kabar  ayah Tris meninggal di RS setelah mengalami kecelakaan saat akan menjemput penumpang langganannya. 

Pak maafkan Tris. Tris cuman kangen sama Bapak, tapi Bapak gak pernah pulang. Tris kangen dibonceng sepeda sama Bapak, Tris kangen disuapin sama Bapak. Tris kangen Bapak. 

Di ujung malam, doa Tris terpanjat, untuk pengampunan atas dosa dosa Bapak. 












Kamis, 06 Agustus 2020

Yang Tak Pernah Hilang #tamat

Bagian sebelumnya
Cerita Rio:
Masih terlalu pagi untuk melakukan aktivitas. Udara dingin sisa hujan tadi malam membuatku kembali menyelusup  di bawah selimut setelah menyelesaikan solat subuh. Lagipula patroli di tanah yang masih becek bukan pekerjaan yang ringan. Menunggu tanah agak kering, juga menjadi alasan mengapa aku masih saja tergeletak di ranjang ini.

Di ambang sadar karena mata masih ingin terpejam, terdengar suara gaduh di luar. Tak lama pintu kamarku diketuk.

Masih dengan kain selimut membungkus tubuh, aku membuka pintu. Welli dan seseorang  berdiri di depan pintu.
"Ada badak mati," ujarny saat aku telah ada di depannya.
"Siapa yang menemukan?" Tanyaku sambil tergesa mengganti pakaian.
"Saya, Pak. Tadi saya lewat Ciranjang menuju Cibandowah. Di perjalanan mencium bau bangkai, waktu saya telusuri ternyata bangkai badak." Laki laki yang datang bersama Weli menjelaskan dengan rinci.
Bagi kami yang bertugas di sini,  kematian badak adalah musibah besar. Satwa langka ini sudah nyaris punah. Kematian satu badak saja merupakan kerugian besar bagi dunia.

Tanpa banyak bertanya lagi, kami langsung menyeberang menuju pos Cibunar.  Dari sini pencarian pun dimulai.   Berjalan kaki menyusuri hutan menuju Cibandowah.   Sebelum sampai ke lokasi yang kami tuju, kami  mencium aroma bangkai yang menyengat. Sempat terjadi perdebatan tentang lokasi dengan warga yang mengantar kami ke lokasi, Setelah berdiskusi sebentar, rombongan dibagi dua, tiga orang melanjutkan perjalanan ke lokasi yang ditunjukkan pelapor dan aku bersama Budi  melakukan pencarian di sekitar Cibandowah. 
Cukup lama kami melakukan pencarian, yang kami cari belum juga terlihat. Medan yang sulit karena jalanan becek dan gelap, menyulitkan pekerjaan. Hari sudah semakin siang, Aku dan Budi memutuskan melakukan pencarian di daerah berbeda agar lebih efisien.

Ini pekerjaan nekad dan penuh risiko. Aku hanya sendiri di antara pohon pohon besar, berjalan di atas jalan setapak yang  licin, yang setiap saat bisa membuatku  terjengkang. Setiap kali seekor ular melintas tak jauh di atas kepala, aku berdiam diri dengan menahan nafas.
Aku terus masuk ke tengah hutan, semakin dalam semakin gelap. Jalan setapak tak lagi terlihat, penuh ilalang dan semak belukar karena tak pernah dilalui manusia. Rasa takut mulai menghantuiku. 
Lelah membuatku memutuskan berbalik arah, kembali mengikuti arah dari mana tadi datang. Sudah lebih satu jam berjalan, aku tersadar, aku berada di jalan yang salah. Aku berada di tengah hutan yang tak kukenali. Aku tersesat.
Hari semakin gelap. Hujan deras memaksaku berhenti berjalan dan berteduh di bawah pohon besar.
Rasa letih, dingin, lapar, juga rasa cemas, hanya kulawan dengan rapalan doa. Aku memasrahkan hidupku pada pertolongan-Nya. Hanya Dia harapanku satu-satunya saat ini hingga akhirnya aku terlelap dan tak tahu apa yang kemudian terjadi. Dua hari kemudian baru ditemukan oleh tim pencari dalam keadaan tak sadar.
"Eka, tahukah kamu apa yang terjadi padaku?"
@@@
Carita Eka:
Mungkin yang kulakukan salah, mencintai tanpa mampu memperjuangkan. Mempertahankan juga mungkin hanya untuk bahagiaku sendiri. 
Pada titik ini, ketika yang kurasakan justru rasa bersalah, aku ingin semua berakhir.
Sebuah surat kutulis, tapi tak juga kukirim, mampukan aku kehilangannya? Mungkin terlalu lama dalam kebimbangan, surat dari Rio yang justru kuterima. 
Rio bercerita tentang sebuah kejadian di hutan yang menimpa dan membuatnya sakit cukup parah. Tentang igauan saat suhu tubuhnya tinggi yang mencemaskan seluruh keluarga. Saat keluarganya nyaris menjemputku ke Bandung, tapi dengan berbagai pertimbangan, dibatalkan. 
Kabar ini membuatku menangis. Betapa tak berdayanya aku. Seharusnya surat itu membuatku segera pulang, tapi aku tak melakukannya. Dan aku hanya berharap Rio memahami keadaanku. Masih saja aku berharap pengertiannya, apa yang bisa kutunjukkan sebagai bukti rasa sayangku? Ternyata aku hanya bisa mengasihi diri sendiri, ini menyebalkan!
Masih patutkah ini disebut mencintai?

@@@
Penulis:
Terlalu banyak aral, terlalu banyak luka, tapi tak memiliki harapan.  semua ini membuat Rio dan Eka akhirnya harus menyerah. Perjuangan yang sia-sia hanya buang buang waktu saja. 
Sebuah surat yang  dikirim Eka  menyelesaikan semua. Surat yang tak pernah dia terima balasannya. 
Sebuah komitmen mengakhiri yang tak pernah secara tegas disepakati. Yang tak bisa menghentikan  keinginan untuk tetap bertemu walau akhirnya jarak menyelesaikan dengan sempurna. 

Pada akhirnya mereka berdua harus melanjutkan hidup dengan jalan nasibnya masing-masing. Tapi,  jejak cinta itu tak pernah hilang, masih saja sering menyeruak dalam ruang ruang kosong.
 Ketika kembara rindu tak menemukan labuh yang diinginkan, dia akan mengganggu di sepanjang hidupmu.

 Tamat

#Terima kasih untuk cerita-cerita yang mewarnai sebagian besar kisah ini.

Selasa, 04 Agustus 2020

Rahasia Hati



Arum membuka matanya perlahan, sentuhan lembut Tio di dahinya membuatnya terjaga.
"Maaf, aku mengganggu tidurmu," ujar Tio yang tengah duduk di sisi ranjang. Tangannya mempermainkan rambut Arum. Perempuan yang sudah mulai menua itu hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala.

"Aku selalu suka terbangun karena belaianmu," Arum menyentuh wajah Tio.
Tio membaringkan tubuhnya di sisi Arum, setelah terlebih dahulu merapikan selimut istri yang dinikahinya tiga puluh tahun lalu. Arum memiringkan tubuhnya menghadap ke arah Tio, tubuh mungilnya kini berada dalam rengkuhan lengan Tio. Sejenak dia menikmati walau kemudian menggeser lengan Tio yang mulai lelap. Saat Tio tertidur, lengannya terasa semakin berat dan membuat dada Arum sesak.

Usai solat subuh, Arum menuju ke dapur untuk menyiapkan sarapan bagi Tio dan dua buah hatinya. Pekerjaan rutin yang tak pernah membuatnya bosan. Bagaimana dia bisa bosan, setiap makanan yang dihidangkan selalu saja membuat Tio dan kedua anaknya makan dengan lahap dan berujung dengan pujian.

"Bilang terima kasih pada Mama, Mama selalu menyediakan sarapan enak untuk kita," selalu begitu, bahkan sampai kedua gadisnya beranjak dewasa.

Setelah melepas ketiga orang kesayangannya Arum mulai sibuk dengan dirinya sendiri. Membuka laptop dan menulis. Sejak kelahiran anak pertama mereka, Arum memilih berhenti bekerja. Dia ingin konsen mengurus keluarga. Sebagai suami, Tio tak pernah melarang atau menyuruh Arum bekerja. Dia menyerahkan pilihan pada Arum. Hidup mereka tampak sempurna.

@@@

Arum berpindah dari satu rak ke rak lainnya, memindahkan beberapa barang dari rak ke troli yang ada di sisinya. Berbagai barang kebutuhan rumah tangga sudah hampir
memenuhi keranjang besi itu

Setelah memeriksa catatan belanja yang tertulis di HP dan yakin semua yang dibutuhkannya sudah masuk ke troli, Arum mendorong troli ke arah kasir kemudian membayar. Setelah itu, Arum menuju honda yaris putih yang terparkir di sisi kanan gedung pusat perbelanjaan.

Arum merasa risi sekaligus cemas karena ada sosok yang mensejajarinya. Dia mempercepat langkah tanpa merasa perlu tahu, siapa sosok yang berjalan di sisinya. Sosok itu mengimbangi, berjalan secepat langkah Arum.

Sebelum mencapai kendaraan, dengan paduan rasa takut dan ingin tahu, Arum memberanikan diri menoleh ke arah sosok yang ada di samping kananya.

"Selamat sore, Arum. Apa kabar?" Arum terperanjat. Suara itu sangat dikenalnya. Dia tak perlu melihat wajahnya, dia tahu siapa sosok yang berdiri di sampingnya. Suara yang dulu selalu menemani jelang tidurnya. Untuk yang tersayang di peraduan, selamat tidur, kalimat itu begitu jelas melekat di pikiran Arum. Dia adalah cerita yang tak pernah selesai.
"Baik, kamu?" Percakapan singkat, miskin kata-kata, tetapi menciptakan gemuruh yang maha dasyat di hati keduanya.

"Boleh aku menghubungimu lagi?" Angga mengeluarkan HP dari saku celananya, dan menulis angka-angka yang disebutkan oleh Arum. Keduanya berlalu menuju kendaraan masing-masing. Gemuruh di dada Arum ternyata tak segera hilang.

@@@
"Arum, cerita kita belum selesai, kan?" Pesan whatsap dari Angga menyapa Arum saat dia akan menyalakan laptop.
Arum tak segera membalas. Lama dia tercenung menatap layar HP. Ya, cerita itu memang tak pernah selesai. Tak pernah ada kata akhir yang jelas. Semua mengambang lalu menguap, tapi di hati terdalam masih tetap ada. Arum berbisik pada hatinya. Terkadang aku masih punya mimpi tentang kita. Aku tak ingin kita kalah, aku ingin kita memenangkannya. Nyatanya, kita memang kalah. Kita tak mampu bertahan.

Satu denting kecil terdengar lagi,

"Arum, salahkah jika aku masih menyimpan cerita tentang kita?"

Bagaimana mungkin aku melarangmu karena aku melakukan hal yang sama. Aku masih menyimpan semua dengan utuh.

"Tahukah kamu, aku selalu saja menyayangimu?"

Menyayangimu bagiku adalah simfoni hati yang indah, aku tak akan menghentikannya. Dan mengetahui kau masih menyayangiku, menjadikannya sebuah orkestra yang sempurna.
"Arum, mengapa pesanku hanya kau baca?"

Arum menghirup udara dengan tarikan dalam, setelah sejenak terdiam kemudian mengetikkan beberapa kalimat,

"Aku tak mau kita selalu berada di wilayah terlarang, itu menyakitkan. Aku tak mau lagi merasa kalah. Biarlah semua kusimpan rapat-rapat sebagai sebuah rahasia. Rahasia hatiku dan hanya kamu yang tahu. Kamu akan tetap jadi warna merah di darahku. Yang tak pernah hilang dari ingatanku. Tapi itu bukan berari aku tak bahagia saat ini, sama denganmu, aku percaya kamu adalah pencinta yang pandai membahagiakan orang yang kamu cintai."

Setelah menekan enter, Arum menekan tombol power, mematikan HP-nya. Dia ingin mengakhiri percakapan pagi ini. Setidaknya dia berusaha agar tak larut dalam kenangan masa lalu, kisah yang tak pernah dilupakan, atau dia memang tak pernah mencoba melupakan.Dia ingin tetap menyimpannya walau dia tak tahu untuk apa.

Sementara di ujung sana, Setelah menghapus semua percakapan yang baru saja dilakukannya dengan Arum, Angga  menghampiri istrinya lalu duduk sambil menyandarkan kepala di bahu perempuan yang telah mendampingi dan berbagi cinta dengannya hampir di sebagian terbesar usianya. Angga memainkan telapak tangan istrinya sementara wanita itu menatapnya bingung.

“Bahagiakah kamu menjadi istriku?” tanyanya tiba-tiba. Istrinya yang masih merasa aneh dengan sikap Angga hanya bisa mengangguk.

“Syukurlah, karena aku tak mau istri yang aku cintai tak bahagia hidup denganku.”

“I love you,”  bisiknya lembut sambil terus menggenggam lengan wanita itu.


TAMAT


Senin, 03 Agustus 2020

Yang Tak Pernah Hilang #5


Bagian sebelumnya
Cerita dari Rio:

Sudah sepuluh hari  aku kembali berada di sini, di keindahan dan kemurnian alam raya. Di kesunyian dan kerinduan yang  masih saja mengganggu.  Yang berbeda, aku menikmati pekerjaanku. Sekarang bukan lagi sekadar tempat menyembunyikan  rasa kecewa. Sekian lama berinteraksi dengan  alam perawan, menjaganya dari tangan-tangan tak bertanggung jawab, menumbuhkan kecintaan yang sesungguhnya. Aku mulai mengerti bahwa pekerjaanku bukan saja soal komitmen dan janji terhadap negara, tapi lebih dari itu. Ini soal bagaimana harus bertanggung jawab kepada-Nya. Bumi yang diciptakan-Nya merupakan sebuah ekosistem besar, merusak salah satu rantainya akan menimbulkan banyak kerugian bagi manusia.

Sepuluh hari cukup lama karena hingga pagi ini aku belum mendapat kabar dari Eka, mungkin dia sudah kembali ke Bandung.  Belum ada cerita tentang apa yang kemudian dihadapinya malam itu. Aku hanya mengingat bagaimana dia berlari menembus hujan meninggalkanku, tanpa dapat berbuat apa-apa. Sesekali terlintas pula keinginan untuk mengakhiri, mungkin semua akan menjadi lebih baik. Hanya saja aku ragu, apakah dia akan mengerti bila kulakukan hal itu?

“Sudah siap?” Budi sudah berdiri di depanku dengan pakaian lengkap. Kami akan menyeberang ke Cidaon lalu berjalan kaki menyusuri jalan setapak menuju Cibunar  untuk  memandu beberapa wisatawan yang berkunjung. Cibunar  termasuk pantai selatan dan masih berada dalam kawasan TNUK.  Diperlukan  waktu berlayar sekitar 15 menit untuk sampai ke sana dengan menumpang kapal. 

Seharian mendampingi wisatawan menyaksikan satwa liar berkumpul di tengah padang yang luas. Menjadi tanggung jawab kami, para petugas, menjaga keselamatan pengunjung karena di sini segala sesuatu bisa terjadi, bahkan yang tak masuk akal sekalipun.  Di sini kesalahan bertindak bisa berakibat fatal. Menyaksikan kawanan banteng merumput atau rusa berkejaran, jika beruntung bisa juga melihat badak jawa melintas, tentunya pengalaman luar biasa bagi para pengunjung. Tetapi, di sini juga ada macan, ular berbisa, atau satwa berbahaya lainnya,

Pukul tiga sore, kami kembali ke Pulau Peucang.  Tugas memandu wisatawan sudah selesai. Tiba di daratan aku menghempaskan diri di atas pasir, berbantalkan ransel yang sedari tadi kusandang di bahu. Menatap langit berwarna jingga ditingkah debur ombak yang datang berirama. Suasana tenang ternyata membuatku ingat lagi pada masalah yang tak jelas akan ada penyelesaiannya atau tidak.

Apa kabar kamu di sana?


@@@

Cerita dari Eka

Liburanku masih sisa dua hari, tapi Ayah menyuruhku segera kembali ke Bandung. Seharusnya hari ini aku tengah berkumpul dengan teman-teman SMP-ku sesuai yang kami rencanakan sebelumnya, tapi sekarang aku di sini, sendiri dalam kebimbangan. Sepucuk surat kutulis untuk Rio, mudah-mudahan bisa segera sampai ke tangannya. Menulis untuknya membuat rasa sesak di dadaku sedikit berkurang.

Hari-hari selanjutnya adalah perjuangan untuk pindah jurusan. Waktuku habis di sekolah karena harus masuk di dua kelas, pagi dan sore. Walau dikemudian hari akhirnya aku bisa membuktikan bahwa aku mampu. Di kedua kelas nilaiku cukup memuaskan. Kesibukkan sekolah ternyata bisa pula membantu mengusir gulana. Bahagiakah aku d sini? Entahlah!

Pagi ini aku melintas di depan ruang Tata Usaha Sekolah, beberapa amplop surat berjajar di kaca Aku berharap salah satunya untukku. Kubaca satu persatu alamat tujuan surat, dadaku bergemuruh saat kutahu ada satu surat untukku. Aku segera masuk ke ruang TU dan meminta izin untuk mengambil surat itu. Seperti biasa, aku selalu tak sabar ingin segera membaca suratnya, walau akhirnya tetap saja harus menunggu sampai nanti tiba di rumah.

Kedatangan surat Rio yang selalu kuharap, walau membacanya selalu saja menyadarkanku betapa sulitnya memperjuangkan cinta ini, mengabarkan sedang mengikuti Diklat di Bogor dan akan ke Bandung. Setelah itu hari-hariku adalah menunggu, berharap waktu itu segera datang.
@@@
Penulis:

Masih pagi, Eka sudah bingung. Pagi ini dia harus ke Jalan Setiabudi, di sana ada Rio menunggu. Eka panik dan gugup, dia takut untuk minta izin. Dia takut Kakak akan curiga.

“Antar Kakak ke Margahayu, ya?” Tiba-tiba saja Kakak mengajaknya pergi. Eka tak segera menjawab. Otaknya berputar-putar mencari alasan yang paling tepat dan tidak dicurigai. Bagaimana pun dia harus bilang karena kalau tidak, dari mana dia dapat uang untuk ongkos.

“Enggak bisa, mau pergi, ada janji sama teman,” ujarnya kemudian dengan degup jantung yang  sangat keras, bahkan dia takut suara jantungnya terdengar oleh Kakak.

“Mau ke mana?”

“Ke Setiabudi, teman-teman SMP mau kumpul di sana,” kali ini Eka sudah semakin tenang dengan kebohongannya. Kebetulan Kakak memang tahu, ada teman SMP nya yang tinggal di situ.

Eka sangat beruntung pagi ini karena Kakak tidak banyak bertanya, setelah memberinya uang untuk ongkos, Kakak berangkat ke Margahayu dan Eka pun berangkat menuju Jalan Setiabudi.

Rindu membuat Eka lupa bahwa sejak tadi malam kepalanya sakit. Jalanan macet dan udara dingin tak menghalangi. Rindu memang bisa meleburkan rasa sakit, tak disadarinya suhu tubuhnya terus naik. Ketika akhirnya mereka bertemu, Rio menyadari bahwa Eka kurang sehat. Upaya Rio mengajaknya ke dokter, tak diturutinya. Eka hanya tak ingin ada yang mencuri waktu yang singkat ini, tidak juga seorang dokter.

 Bersambung ke sini




 


Kamis, 30 Juli 2020

Hati yang Mendua #end





Usai solat subuh, Aini kembali merebahkan diri. Beberapa hari ini dia seperti kehilangan sebagian besar gairah hiduo. Hati yang mendua membuatnya terjebak pada situasi yang tak menyenangkan.
Terkadang batinnya berkata, bahwa bahagia yang sempurna adalah memenangkan semua mimpi, dan itu adala Ridho. Tapi, di sisi hatinya yang lain, dia tak ingin kehilangan Ami. Dia telah terbiasa dengan kehadirannya. Lelaki yang selalu mendukung segala aktivitasnya, memaham kecintaannya pada anak didik, dan tempat berbagi tentang dunia sekolah yang dilakoninya. Sebagai sesama guru, mereka selalu punya topik-topik menarik untuk diperbincangkan, terlebih polah dan tingkah murid-murid yang tengah beranjak remaja.

Cerita tentang sekolah dengan berbagai problematikanya, adalah dunia yang mereka jalani. Tak semua yang berprofesi guru, melakukan seperti yang mereka lakukan. Menjadikan sekolah dan anak-anak sebagai arena untuk melepaskan banyak energi yang dimiliki. Ami melakukannya, sama seperti dirinya. Dia ingin selamanya seperti itu.

"Ay, ada Vina di luar!" Suara ibu yang sudah berdiri di depan pintu kamar yang pintunya tak tertutup rapat.
"Iya, Bu." Gadis berpipi cabi itu pun bangkit dan melangkah menuju teras, di sana ada Vina tengah mengamati bunga anggrek kecil berwarna kuning dalam vas kecil di atas meja.
"Ini bunga asli, Ay?" Tanyanya saat menyadari kehadiran Aini.
"Asli lah, mana ada yang palsu di sini."
"Kamu tuh yang palsu," Vina menunjuk Aini. Kemudian mereka berdua tertawa.
"Minum apa, Vin?"
"Biasanya kamu punya buah markisa, jus nya pasti seger,"
"Ya, maunya yang susah. Nyesel nanya."
Vina kembali tertawa, tapi kali ini dia sudah melangkah ke dalam rumah dan langsung membuka kulkas. Buah markisa berwarna kuning diambilnya dan ditunjukkannya pada Aini yang sudah berdiri di belakangnya.
"Biar aku bikin sendiri, kamu mau juga?" Aini mengangguk dan menyerahkan dua gelas kosong yang ada di tangannya.
"Gulanya ada di meja," lanjutnya.

Aini dan Vina kembali duduk di teras dengan gelas jus markisanya masing-masing.
"Sudah denger belum?" Aini menoleh ke arah Vina dengan gelas yang masih menempel di mulut. Dia menggeleng.
"Si Prapti kan kemarin nikah," Vina memulai gosip pagi.
"Oh" Aini menanggapi sekadarnya, tangannya malah asik mengaduk-aduk batu es dalam gelas.
"Dia nikah dengan siapa coba?" Vina semakin serius. Aini menggeleng lagi.
"Ridho, sepupunya Fitri, yang waktu itu kita ketemu di rumah Fitri."
Tangan Aini yang sedari tadi asik memainkan sendok, tiba-tiba terasa kaku. Saat itu mungkin wajahnya memucat, tapi Vina tak memperhatikan. Aini berusaha tetap tenang, menyembunyikan keterkejutannya.
"Kamu ke sana waktu mereka menikah?" Sebetulnya ada getar aneh di suara Aini, lagi-lagi luput dari perhatian Vina.
"Enggaklah, gak ada yang dikasih tahu. Aku saja baru tahu tadi pagi dari Fitri,"
"Mereka pacaran?" Suara Aini mulai tenang.
"Enggak, mereka baru kenal beberapa bulan aja."
"Itulah jodoh, susah diprediksi. Pacaran lama, eh putus. Yang baru kenal bisa menikah."
@@@

Vina sudah pulang, tapi ceritanya tentang pernikahan Ridho yang terkesan terburu-buru dan tertutup, menganggu Aini. Sampai menjelang dini hari matanya tak mau terpejam. Apa yang terjadi di antara mereka? Belum lama Ridho masih terkejut saat mengetahui Aku dekat dengan seseorang, dan tiba-tiba saja hari ini dia menikah. Jadi yang kemarin itu apa? Nyatanya bagi Ridho, aku hanya teman Fitri, tak lebih. Mengapa aku sebodoh ini? Masih saja bermimpi dan berharap cintanya. Bahkan aku menyakiti hati Ami demi sesuatu yang sesungguhnya tak pernah ada.

Banyak sesal berkecamuk di pikiran Aini. Dia semakin takut jika Ami benar-benar meninggalkannya. Sudah dua minggu dia tak datang dan Aini tak pula berusaha menghubungi. Ami, maafkan aku. Matanya mengembun dengan penyesalan yang dalam.

@@@

Matahari sudah agak tinggi, Aini baru terjaga.Tadi malam usai solat subuh dia baru bisa tidur.
Di luar sudah ramai kendaraan yang lalu lalang. Aini membuka jendela, menikmati hangat pagi yang menyeruak masuk ke dalam kamarnya. Dihelanya nafas dalam dalam, rongga dadanya terasa agak lapang. Tiba-tiba matanya tertumbuk pada motor yang terparkir di dekat pohon palm merah di samping teras.
Aini mengucek matanya, berusaha meyakinkan hatinya bahwa ada Ami duduk di teras rumah, di tempat biasa dia duduk. Dada Aini bergemuruh. Tampaknya hati Aini kembali utuh untuk laki-laki berambut ikal, sahabat SMP-nya saat sama-sama mengurus mading sekolah.
Aini segera mencuci muka dan memoles wajahnya dengan bedak dan lipstik tipis-tipis kemudian menemui Ami, dia tak ingin cinta itu kembali kecewa. Dia segera menemui Ami dengan segelas teh manis.

Tamat







Selasa, 28 Juli 2020

Sepuluh Syarat Pelaksanaan Pembelajaran Tatap Muka di Kabupaten Pandeglang


Belajar dari rumah yang banyak dikeluhkan, menuntut segera diberlakukannya kembali pembelajaran tatap muka. Kadisdik Kabupaten Pandeglang menyatakan bahwa pembelajaran tatap muka akan dimulai bulan Agustus yang akan datang setelah melakukan rapat koordinasi dengan berbagai pihak terkait, diantaranya Dinas Kesehatan Kabupaten Pandeglang.
Meskipun pembelajaran tatap muka segera dimulai, bukan berarti pelaksanaannya sama dengan tatap muka sebelum pandemi. Ini 10 hal yang menjadi persyaratan:

1. Surat rekomendasi dari Puskesmas setempat
2. Surat dukungan dari orang tua atau wali siswa untuk belajar tatap muka.
3. Surat oersetujuan dari pengawas sekolah.
4. Foto kelengkapan sarana kebersihan, berupa tempat cuci tangan di depan gerbang sekolah.
5. Foto petugas pemeriksa suhu tubuh beserta kelengkapannya.
6. Foto ruang guru yang jarak antar bangku sesuai pedoman jaga jarak fisik.
7. Foto ruang belajar dengan bangku sesuai dengan pedoman jaga jarak fisik.
8. Foto petugas UKS di ruang UKS
9. Foto petugas sedang membersihkan toilet.
10. Memasang spanduk sekolah daerah wajib masker.
Seluruh persyaratan dikirimkan ke kantor Dinas Pendidikan, paling lambat tanggal 31 Juli 2020.

Info diperoleh berdasarkan surat edaran dari Dinas Pendidikkan

Senin, 27 Juli 2020

Pembelajaran Tatap Muka Dimulai Bulan Agustus



Setelah BDR yang cukup lama, menyita waktu dan pikiran, menghasilkan banyak keluhan, tetapi tidak mencapai target kurikulum, Kadisdik Kabupaten Pandeglang H. Taufiq Hidayat menyatakan bahwa pembelajaran tatap muka akan dumulai bulan Agustus ini, pada saat menggelar rapat koordinasi pembelajaran tatap muka di Aula Kantor Dinas Kabupaten Pandeglang (Senin, 27 Juli 2020)
Selanjutnya beliau menjelaskan bahwa teknis penyelenggaraannya tetap harus mengikuti protokol kesehatan. Guru, siswa, tenaga kependidikan atau siapa pun yang berkunjung ke lingkungan sekolah harus mengenakan masker. Ketersediaan tempat cuci tangan, hand sanitizer juga harus diperhatikan.
Yang menjadi perhatian penting, bukan hanya tercapainya target kurikulum, tetapi keselamatan anak, guru, keluarga dan seluruh masyarakat, lanjut beliau.
Selama BDR keberhasilan kegiatan pembelajaran hanya mencapai 30%. Banyak kendala yang harus dihadapi, mulai dari penguasaan teknologi IT- guru maupun orang tua- yang masih rendah, tidak seluruh wilayah di Kabupaten Pandeglang terjangkau signal, belum semua siswa memiliki android, mahalnya paket data. Semua kendala yang datanya diperoleh melalui survey kepada guru dan siswa, yang menjadi pertimbangan sehingga dirasa perlu untuk segera melakukan pembelajaran tatap muka.

Sumber https://www.japos.co/2020/07/27/kadisdik-proses-kegiatan-belajar-tatap-muka-dilaksanakan-bulan-agustus-mendatang/

Belajar Menulis Teks Deskripsi

Teks deskrisi adalah teks yang menggambarkan secara rinci suatu objek, tempat,  atau peristiwa tertentu, sehingga pembaca seolah dapat melihat, merasakan, mendengar, atau merasakan objek yang dideskripsikan.

Ciri-ciri teks deskripsi:

1. Menggambarkan atau melukiskan sesuatu.

2. Melibatkan kesan indra sehingga gambaran objek menjadi jelas.

3. Membuat pembaca atau pendengar merasakan sendiri atau mengalami sendiri objek yang diamati penulis.

4.menjelaskan ciri-ciri objek secara terperinci,seperti warna,ukuran,bentuk,dan keadaan suatu objek .

Berdasarkan tujuannya,deskripsi dibedakan menjadi dua

1.      Desktipsi sugestif bertujuan menciptakan pengalaman kepada diri pembaca karena berkenalan langsung dengan objeknya

2.      Deskripsi ekspositoris atau deskripsi teknis bertujuan memberi identifikasi atau informasi mengernai objek. Pembaca dapat mengenali objek jika bertemu atau berhadapan langsung.

 

Secara umum, teks deskripsi terdiri atas tiga jenis seperti berikut.

1. Teks deskripsi tempat(spasial)

     Teks deskripsi tempat(spasial)adalah teks yang melukiskan ruang atau tempat berlangsungnya suatu peristiwa. Pelukisannya harus dilihat dari berbagai segi agar ruang tersebut tergambar dengan jelas dalam pikiran dan perasaan pembaca.

2. Teks deskripsi waktu

     Teks deskripsi waktu menggambarkan urutan waktu. Berdasarkan gambaran tersebut,pembaca akan tahu urutan kejadian yang berhubungan dengan urutan waktu.

3. Teks deskripsi orang.

     Pendeskripsian orang akan menceritakan orang tersebut secara terperinci. Mendeskripsikan orang dapat dilakukan melalui berbagai cara,yakni dengan memilih aspek yang akan dideskripsikan,seperti bidang milik,bidang fisik,bidang perasaan,bidang tindakan,dan watak.

 

Ciri kebahasaan teks deskripsi

1.                          Kalimat berisi penjelasan terperinci untuk membuat objek menjadi konkret (nyata)

Kalimat penjelas adalah kalimat-kalimat yang isinya penjelasan, uraian, atau rincian secara detail tentang kalimat utama suatu paragraf.

2.                          Menggunakan pilihan kata dengan emosi kuat dalam teks deskripsi.

Kata emosi adalah kata-kata yang digunakan untuk  menggambarkan dan mengekspresikan perasaan yang dialami seseorang. Teks deskripsi juga menggunakan kata-kata dengan emosi kuat.

Contoh kata emosi : ombak menggempur, gundah gulana, melukai hati.cahaya benderang.

3.                         Mengidentifikasi majas.

Majas sering pula disebut dengan gaya bahasa. yang sering digunakan dalam teks deskripsi adalah majas perbandingan. Majas perbandingan adalah kata-kata berkias yang menyatakan perbandingan untuk meningkatkan kesan dan memengaruhi pendengar ataupun prembaca.

Contoh kalimat bermajas: Sungai mengalir di antara akar-akar pohon, di kiri dan kanan pohon-pohon bakau menghijau. Keindahan yang memanjakan mata. (gaya bahasa personifikasi)

 

Informasi dalam teks deskripsi dapat dicari dengan pemetaan. Pemetaan berdasarkan pemaparan umum ke khusus, dengan langkah sebagai berikut:

1. Membaca keseluruhan teks deskripsi.

2. Memahami isi teks deskripsi.

3. Menemukan ide pokok setiap paragraf dalam teks deskripsi.

 

Struktur teks deskripsi  

1.   Identifikasi, berisi penjelasan tentang definisi atau identitas objek yang dideskripsikan, misalnya lokasi, sejarah, dan makna onjek yang dideskripsikan.

2.  Deskripsi bagian berisi penjelasan tentang klasifikasi objek yang dideskripsikan.

3.  Kesan atau Simpulan.

 

Telaah Kebahasaa Teks Deskripsi

1. Penggunaan kalimat perincian untuk membuat objek menjad konkret.

2. Penggunaan kalimat yang menggunakan cerapan pancaindra.

3. Penggunaan kata berimbuhan.

4. Penggunaan kata bersinonim dalam teks deskrpsi.

5. Penggunaan kata depan.

6. Penggunaan kata khusus dalam teks deskripsi.

7. Penggunaan huruf kapita dalam teks deskripsi.

8. Penggunaan istilah kata.

9. Penggunaan tanda baca.

10. Pengunaan kata baku.

11. Penggunaan konjungsi.

12. Penggunaan rujukan kata.

Teks deskripsi dapat disajikan dalam bentuk lisan dan tulisan. Dalam bentuk lisan, teks deskripsi dapat disajikan baik bentuk rekaman suara maupun tayangan suara dan video. Langkah-langkah yang harus diperhatikan dalam membuat teks deskripsi sebagai berikut.

1. Memahami objek yang akan dideskripsikan.

2. Menghindari penggunaan kata atau kalimat kasar saat menyampaikan deskripsi suatu objek.

3. Menghindari kata atau kalimat yang bersifat subjektif, menyerang pribadi atau fisik seseorang, dan menjatuhkan objek yang dideskripsikan.

4. Menghindari kata-kata yang mengandung SARA untuk mendeskripsikan objek.

5. Menggunakan kalimat sopan dan mudah dipahami.

6. Menyampaikan deskripsi objek secara runtut.

         Selain dalam bantuk lisan, kamu dapat menyusun teks deskripsi berdasarkan data, gagasan, dan kesan terhadap objek. Langkah-langkah menyusun teks deskripsi sebagai berikut.

1. Menentukan topik.

2. Menentukan tujuan penulisan.

3. Mengumpulkan informasi atau bahan.

4. Membuat kerangka tulisan.

5. Mengembangkan kerangka karangan.

 

Langkah-langkah Menulis Teks Deskripsi

1.      Tentukan objek yang akan dideskripsikan

Misalnya pohon besar di halaman depan rumahmu

 

2.      Gunakan panca inderamu untuk memerinci bagian-bagia pohon tersebut

Perincian berdasarkan yang dilihat (indera mata)

Misalnya: rinci warna daun, warna akar, warna batang, warna buah yang masih muda, warna buah yang sudah tua.

Rinci pula bentuk daun, bentuk batang, bentuk akar.

 

Perincian berdasarkan pendengaran (indera pendengaran)

Ada suara burung, suara gesekan daun, suara anak-anak yang memanjat pohon dll

 

3.      Gunakan perasaanmu unuk memberi kesan.

Misalnya merasa tenang karena teduh, merasa sejuk dll

 

Rangkai perincian princian itu dalam sebuah teks deskripsi

Pohon Besar di Halaman Rumahku

 

Pohon besar yang tumbuh di halaman depan rumahku sudah lumayan tua. Sejak aku kecil pohon itu sudah ada. Pohon itu kini menjadi satu-satunya pohon besar yang masih ada di kampung kami.

 

 

Identifikasi

Batangnya sangat besar, tanganku tidak bisa memeluknya, kecuali aku dan adikku saling berpegangan dan berdua melingkarkan tangan pada pohon.

 

Deskripsi bagian

Daun pohon itu berukuran besar juga, kira-kira 20 cm. warnamya hijau agak kekuningan. Kalau sudah tua berubah kemerahan.

Akar pohon itu muncul ke permukaan tanah, biasanya aku gunakan untuk alas duduk sambil membaca buku.

 

Deskripsi bagian

Setiap bulan Desember, pohon berbuah. Warna buahnya merah kecoklatan. Menyerupai warna manggis, sayangnya tak bisa dimakan, kata Ibu ada racunnya.

 

Deskripsi bagian

Pohon besar itu kini sudah tua dan akan segera ditebang. Membayangkan kalau pohon itu sudah tak ada, aku merasakan udara panas dan rasa tidak nyaman.

 

Kesan atau penuutp

 

Berlatih menulis teks deskripsi:

 

 Perhatikan gambar di atas. Kita akan membuat teks deskripsi berdasarkan gambar.

Ikuti langkah-langkah ini!

1.      Identifikasi sungai di atas, Misalnya

Sungai Yamuna di New Delhi-India

 

2.      Deskripsi bagian:

Luas sungai sekitar 10 meter

Sampah memenuhi sungai

Sampah palstik berupa kemasan makanan dan minuman

Sampah rumah tangga.

Air tergenang, tidak mengalir krena sungai dangkal

Bau yang menyengat (seandainya kita ada di sana)

Dll

3.      Kesan atau penutup Sungai yang merusak pemandangan kota dan idak sehat.

Dari rangkaian informasi di atas, kalian dapat mencoba menulis teks deskripsi.

Daftar di sini Nonton youtube dapat uang


Unggulan

Cerita dari Masa Lalu #2

  Klik untuk membaca bagian sebelumnya Ekspresi kecewa, jelas terlukis di wajah Resti. Menelpon balik? Resti menghilangkan kemungkinan itu....