Hari ini rapat kenaikan kelas. Semua guru di tempat Aini mengajar diwajibkan hadir,
tentu tetap dengan mengikuti protokol kesehatan di masa pandemi. Didorong oleh
rasa rindu pada sekolah yang telah lama dirasakannya, Aini berangkat dengan bersemangat.
Tiba di gerbang Aini
berhenti sesaat. Dia menoleh ke kiri dan ke kanan, mencari seseorang.
"Selamat pagi, Bu
Aini," suara Abah Ihin yang tiba-tiba saja sudah berada di belakangnya,
membuat Aini terperanjat.
"Tumben ke
sekolah," sapa Abah Ihin ramah.
"Kangen dengan
suasana sekolah, Bah. Gak enak di rumah terus," timpalnya tak kalah ramah.
Mereka berbincang sejenak,
Aini jadi tahu kalau Abah Ihin tidak bekerja dari rumah seperti yang lainnya.
Sebagai penjaga dan sekaligus bertanggung jawab memelihara kebersihan sekolah,
setiap hari dia tetap harus datang. Pantas saja bunga-bunga di halaman sekolah
tetap segar dan rapi, Aini bergumam. Aini selalu kagum pada Abah Ihin. Dengan
penghasilan yang tak seberapa, dia tetap melakukan tugas dengan penuh tanggung
jawab. Abah bilang, ini juga ibadah.
Sikap yang layak ditiru, menurut Aini
Bu Ratna yang baru saja turun dari ojeg
menggamit lengan Aini, mengajaknya melangkah bersama menuju ruang guru. Aini
langsung menuju bangku yang di depannya ada meja bertuliskan namanya. Di atas meja imasih ada beberapa buku
latihan siswa yang belum sempat dibacanya, tersusun rapi.
Sambil mendengarkan
obrolan santai di antara guru yang sudah berkumpul dalam ruangan, Aini
menyempatkan diri memeriksa buku tugas siswa, sambil menunggu rapat kenaikan
dimulai. Sesekali dia ikut menimpali dan tertawa bersama mereka.
Sebelum Aini selesai
mengoreksi, Bapak Kepala Sekolah sudah memasuki ruang guru, rapat pun dumulai.
Aini menghentikan kegiatannya dan tergesa
memasukkan beberapa buku tugas ke dalam tas ranselnya.
Rapat kenaikan kelas
hari ini berbeda dari biasanya, berlangsung cepat. Tidak ada perdebatan alot
untuk menentukan seorang siswa bermasalah masih
layak naik kelas atau tidak.
Semua guru kekurangan
data. Ada anak yang dua bulan pertama sering tak masuk pun naik kelas
karena guru wali kelas bersama Guru
Bimbingan dan Penyuluhan sudah melakukan
pembinaan, walau hasilnya tak terlihat karena pandemi covid 19 memaksa mereka
belajar di rumah saja, tidak ada lagi data kehadiran ril di kelas. Kegiatan
belajar daring juga tak efektif. Banyak kendala, guru dan siswa sama -sama tak
siap. Kondisi luar biasa melahirkan keputusan fantastis, semua siswa naik
kelas.
Selama rapat
berlangsung Aini malah sibuk dengan aplikasi note yang ada di gawainya. Sebuah
puisi tercipta,
Ada yang memfitnah, ada
yang difitnah
Siapa memfitnah?
Siapa difitnah?
Ada yang diuntungkan
ada yang dirugikan
Siapa menguntungkan
siapa?
Siapa merugikan siapa?
Ada yang berbohong dan
ada yang dibohongi.
Siapa pembohong?
Siapa yang dibohongi?
Semua berseliweran tak
jelas
Semua tak tahu harus
percaya pada siapa
Ada yang takut, ada
yang terlalu berani
Yang takut melepas
semua peluang
Yang terlalu berani
menentang risiko
Ada yang hanya bisa
diam
Ada yang terus bergerak
Ada aku, kamu, kita,
dan mereka
Melangkah ragu
Antara cemas dan
harapan
Wakasek kurikulum sudah
menutup acara rapat Aini pun menutup aplikasi note setelah menyimpan catatan yang baru
ditulisnya lalu memasukkan gawai ke kantong beresleting di bagian luar tas
ransel besarnya.
@@@
Pembagian rapot
kenaikan kelas baru saja dilakukan. Walau protokoler jaga jarak telah
disosialisasikan, pada kenyataannya tak bisa dilaksanakan. Anak-anak yang
terlalu lama menyimpan rindu di antara mereka, tak dapat menahan diri untuk
saling memeluk. Para guru terus saja mengingatkan. Daerah hijau, status ini
yang membuat kecemasan agak berkurang.
Aini telah selesai
membagikan raport di kelas 8 B saat hendak beranjak meninggalkan kelas,
beberapa anak menghampiri,
"Bu, foto bersama
dulu." Aini tak segera menjawab, itu artinya harus saling berdekatan dan
mengabaikan protokol jaga jarak, pikirnya.
"Kan harus jaga
jarak," Aini mencoba menolak.
"Bu, please! Ini
hari terakhir kita berkumpul. Setelah ini gak akan ada kesempatan foto
bareng," bujukan dari wajah-wajah
penuh harap ini menggoyahkan hati Aini. Ya, kapan lagi?
"Oke, tapi
sebentar saja. Setelah itu kalian segera pulang." wajah-wajah yang tadi
harap-harap cemas kini tampak gembira. Siswa kelas 8B mendadak menjadi sangat
mudah diatur. Mereka berjajar menghadap kamera dengan gayanya masing-masing.
----
Aini tengah menikmati
hari libur pertama. Tak ada lagi kegiatan belajar daring. Kegiatan belajar
semester genap telah usai. Para siswa telah pula menerima hasil belajar. Pandangnya
tertumbuk pada tas ransel besar yang masih tersandar di kaki meja kecil yang
ada di kamar. Aini teringat ada beberapa buku siswa yang ada dalam tas. Aini
ingin melanjutkan memeriksa buku tugas siswa, walaupun sudah tak mempengaruhi
nilai hasil belajar karena rapot sudah
dibagikan, Aini tetap ingin melakukannya.
Ada lima buku yang
dikeluarkannya dari dalam tas. Tapi salah satu buku terlalu kecil sebagai buku tugas, buku siapa
ini? Aini membolak balik halaman buku yang ada di tangannya. Bukan, ini bukan
buku tugas siswa. Ini buku diari. Punya siapa? Masih diliputi rasa ingin tahu,
kembali diperiksanya halaman demi halaman untuk
mencari identitas si pemilik. Aini terkejut, ada namanya di buku itu.
Segera ditutupnya halaman buku itu, hatinya bergejolak antara rasa ingin tahu
dan rasa bersalah karena membuka catatan harian orang lain.
Sudah hampir sepuluh
menit, Aini masih saja ragu-ragu. Buku diari masih ada di tangannya. Terbayang
lagi apa yang baru saja dia lihat, namanya.
Ada pertarungan hebat
di hati Aini, rasa penasaran dan merasa tidak berhak mengetahui isi tulisan
itu, dia sadar bahwa diari adalah sesuatu yang sangat pribadi, tempat seseorang
bisa menulis secara jujur tentang rasa. Marah, benci, bahagia, dan ekspresi
jiwa lainnya.
Jika aku tidak
membaca, selamanya aku tidak tahu orang lain bicara apa tentangku. Jika hal
baik sih tidak masalah, kalau hal buruk? Aku akan kehilangan kesempatan
memperbaiki diri.
"Bismillah..."
Dia buka lagi halaman buku itu, mencari tulisan yang tadi sempat dilihatnya.
"Aku kira Bu Aini
itu guru hebat, nyatanya sama saja dengan guru lain. Pilih kasih. Apa kurangnya
aku dari Septi, dari Rizka, nilai-nilaiku juga bagus seperti mereka, aku juga
masuk 10 besar. Tapi Bu Aini tak pernah peduli. Dia pilih kasih.
Satu persatu kata yang
terangkai itu dibaca Aini dengan rasa yang campur aduk. Ada rasa tersinggung,
sedih, marah, dan entah apa lagi. Aini merasa sedang di hukum tanpa
persidangan. Dia jadi ingin tahu, siapa yang menulis?
Dibolak-baliknya lagi
halaman buku itu untuk menemukan identitas pemiliknya. Risan, selalu ini yang muncil di akhir setiap
tulisan. Tapi, tak ada nama Risan yang tertera di daftar absen.
Nyaris putus asa, itu
yang dirasakan Aini. Sedari tadi mencari, tapi tak juga dia tahu siapa pemilik
buku diari itu.
Risan, siapa dia? Dia
pasti siswaku karena menulis namaku
dengan sebutan Ibu Aini. Aini melihat lagi ke buku absen, berharap ada nama
yang mirip atau mengarah. Tak juga ada. Kini matanya tertuju ke 4 buku latihan
siswa yang barus saja dikoreksinya. Aini teringat pada catatan tugas yang telah
dikoreksinya saat menjelang rapat. Ada lima nama yang tersisa saat Wakasek
Humas mengajak para guru untuk memulai rapat.
Aini segera memeriksa
nama nama yang tertera di halaman depan buku dan melanjutkan catatan kemarin
dengan menambahkan nama serta nilai keempatnya.
AURIA SINTIA, nama ini
yang belum ada dalam daftar catatannya. RIS? RIAS? ARIS? Aini memutar-mutar
urutan huruf nama Aria, Mengapa RISAN?
Keningnya berkerut, tapi ada senyum kecil di sudut bibir Aini ketika mengetahui
Auria mengidolakan artis korea yang memiliki nama depan San. Satu langkah
permulaan telah dilalui, Aini kini tahu anak yang menyebutnya guru pilih kasih.
Aini tak pernah
menduga, Auria punya pendapat begitu. Selama ini Aini selalu bersikap adil,
memberi perhatian pada semua siswa. Kalau ada siswa yang mendapat perhatian
lebih, itu karena mereka memang membutuhkan. Doni, Septi, atau beberapa anak
lainnya, mereka dalam masalah dan butuh perhatian khusus.
Auria, anak cerdas. Dia
rajin dan berprestasi. Tak ada tanda-tanda dia menyimpan masalah. Ada apa
dengannya?
"Padahal capek,
tapi kalau tidak, Mama pasti makin cuek. Dapet nilai bagus aja Mama cuman
bilang, baguslah."
"Lagi-lagi Mama
bikin aku malu di depan temannya. Mama selalu bangga-banggain Kak Riri dan
nganggap aku gak ada."
"Pa, kenapa sih
perginya lama? Mama cuman sayang sama Kak Riri."
dan masih banyak
catatan lain yang membuat Aini mengerti, mengapa Auria berprilaku seperti itu. Aiuria
merasa diperlakukan berbeda. Bahkan
usaha untuk menarik perhatian mamanya, seolah tak ada arti. Mungkin ini yang
membuat dia selalu mencurigai orang lain, termasuk mencurigaiku. Batin Aini.
Auria, ada satu tugasmu
yang belum kamu kumpulkan, pesan Aini lewat watsapp. Bisa kamu kirimkan ke ibu?
Pesan Aini berikutnya. Pesan yang terkirim itu belum mendapat jawaban hingga
sore hari.
Auria justru muncul di
rumah Aini untuk menyerahkan buku tugasnya.
"Kita makan seblak
dulu, yuk" ajak Aini sambil merengkuh bahu remaja hitam manis itu ke
samping rumah, ke warung Bi Ida. Auria tak bisa menolak karena rengkuhan itu
cukup kuat dan membuat dia melangkah mengikuti.
"Saya tidak bawa
uang," bisiknya dekat telinga Aini.
"Ibu yang
traktir."
Kini mereka sudah duduk
berdampingan menghadap meja panjang yang menempel ke dinding. Dua mangkuk
seblak juga sudah terhidang.
Aini mengajak Auria
mengobrol hal-hal yang disukainya, sesekali terdengar derai tawa mereka yang
membuat beberapa pengunjung melirik. Keduanya menjadi sangat akrab.
Dua mangkuk seblak
sudah kosong. Wajah mereka pun telah memerah karena pedas level 5 yang tadi
mereka pesan.
Aini hendak beranjak
menghampiri Bi Ida untuk membayar, saat itu dia mendengar suara Auria
"Bu!"
"Ya?"
"E..., saya kan
sudah..."
"Mengumpulkan buku
tugas?" Air muka Auria berubah pucat.
Kok kaget? Buku tugas
yang ini kan?" Aini menunjuk buku
yang tergeletak di meja, buku tugas yang
tadi baru saja diserahkan oleh Auria.
"Eh,
Iya...tapi...bukan yang itu, bukan! ...yang dulu."
"Oh, yang itu?
Ada." Aini menjawab santai sambil
menyeruput minumannya.
Auria semakin panik.
Dia menatap Aini dengan tatapan menghiba.
"Ibu
membacanya?" Aini menjawab dengan anggukan kecil dan sebuah senyum.
"Maaf, ya. Ibu
terpaksa membaca karena mencari tahu siapa pemilik buku itu," jelasnya.
Suasana hening sejenak. Aini asik mengaduk-aduk batu es dalam gelas. Auria
memilin-milin ujung tali tas kecil yang dibawanya.
"Bu, maaf."
Suara Auria nyaris tak terdengar.
"Hei, kamu kenapa?
Minta maaf untuk apa? Fungsi buku diari itu memang untuk curhat, kamu boleh
menulis apa saja yang tengah kamu rasakan atau pikirkan. Yang penting, jangan
mengumbar kata-kata kasar. Itu bisa membuat jiwamu juga jadi jasar."
"Tapi, saya
menulis tentang Ibu," masih dengan suara perlahan, menahan tangis.
Aini menatap Auira
dengan senyum menenangkan.
"Ibu gak marah.
Ibu hanya ingin kamu tahu," ucapan Aini membuat Auria menghentikan
keasikannya memilin-milin ujung tali tasnya.
"Ibu tidak pernah
berniat membeda-bedakan kalian, Ibu sayang kalian. Mengapa perlakuan Ibu
berbeda? Kebutuhan kalian juga berbeda. Yang Ibu tahu kamu anak hebat, kuat, dan selalu ceria. Kamu
mampu mengatasi masalah-masalahmu dengan cara yang baik. Kamu tidak membutuhkan
bantuan. Berbeda dengan beberapa temanmu yang lain. Mereka butuh bantuan. Ibu
melakukan itu untuk mereka." Auria mendengarkan dengan seksama.
"Tapi,
Bu...Mama..."
"Insya Allah,
mamamu juga bangga sama kamu. Terkadang orang tua tidak mau menunjukkan rasa
bangganya. Mereka tidak ingin anaknya jadi sombong atau menjadi manja."
Kata-kata Aini rupanya
berhasil menenangkan remaja 15 tahun ini. Senyum kecil kembali terlihat di
wajahnya.
"Bu, boleh saya
kapan-kapan main lagi ke sini?"
"Tentu, Ibu senang
kalau ada yang mau main ke sini. Ibu punya banyak buku yang bisa kalian
baca."
"Terima
kasih,Bu." Aini melingkarkan lengannya
ke tubuh Auria. Ada kabut tipis tiba-tiba menutupi mata Auria. Dia
berusaha menahannya agar tak berubah menjadi tetesan air.
"Lain kali
hati-hati menjaga buku diarimu."
Pesan Aini saat
mengantar Auria ke depan pintu pagar.
#diari #buku #smp