Pesan wa dari Ami membuat Aini merasa bersalah, Dia tak terbiasa berbohong apalagi tak peduli dengan perasaan orang lain. Hanya saja, Ridho adalah impian yang ada di depan mata. Aini berharap impian itu akan berubah nyata.
"Ay, jalan, yuk! Aku sudah di depan rumah," Aini menjulurkan kepalanya, melihat ke luar melalui jendela kamar. Ami tengah mendorong motornya melintasi pagar.
Aini segera menghampiri.
"Kamu gak lagi sibuk kan?" Tanya Ami sambil mendudukkan tubuhnya di kursi teras.
"Sekarang sih enggak, tapi jam 11 nanti ada janji sama Fitri. Dia minta anter belanja pakaian dan keperluan melahirkan."
"Gak bisa dibatalin atau diundur sampai besok? Atau sore? Kita jalan ke yang deket aja," kali ini Ami sedikit memaksa,Aini merasakan itu.
"Mau ke mana sih? Gak bisa besok-besok? Kan cuman jalan-jalan."
"Nah, kamu aja yang besok! " Ami tak mau mengalah. Aini terkejut. Sejak dulu Ami tak pernah memaksa, ini kali pertama.
Aini tak membantah lagi. Ami pun memilih diam kepalanya menunduk menatap lantai, tanpa berkata apa pun.
Ani tak tahan dengan kebekuan yang terjadi
"Oke, kita pergi," Aini menyerah. Ami mengangkat wajah, tapi ekspresinya masih menyisakan kegusaran.
"Sudah males, aku mau pulang,"
"Mi, kok gitu sih?" Ani merasa tak enak hati.
"Kita pergi sekarang, aku sudah kabari Fitri dan dia setuju untuk belanja besok."
Ami sudah bangkit dari tempat duduknya, suara gesekan kaki kursi ke lantai menandakan dia bangun dengan sedikit menghentakkan tubuh. Dia masih gusar.
"Mi, maaf. Aku gak maksud..."
"Entahlah, Ay... Aku pulang." Ami tak menunggu persetujuan Aini, dia langsung melangkah menuju motornya yang terparkir di dekat pintu pagar.
"Ay, jalan, yuk! Aku sudah di depan rumah," Aini menjulurkan kepalanya, melihat ke luar melalui jendela kamar. Ami tengah mendorong motornya melintasi pagar.
Aini segera menghampiri.
"Kamu gak lagi sibuk kan?" Tanya Ami sambil mendudukkan tubuhnya di kursi teras.
"Sekarang sih enggak, tapi jam 11 nanti ada janji sama Fitri. Dia minta anter belanja pakaian dan keperluan melahirkan."
"Gak bisa dibatalin atau diundur sampai besok? Atau sore? Kita jalan ke yang deket aja," kali ini Ami sedikit memaksa,Aini merasakan itu.
"Mau ke mana sih? Gak bisa besok-besok? Kan cuman jalan-jalan."
"Nah, kamu aja yang besok! " Ami tak mau mengalah. Aini terkejut. Sejak dulu Ami tak pernah memaksa, ini kali pertama.
Aini tak membantah lagi. Ami pun memilih diam kepalanya menunduk menatap lantai, tanpa berkata apa pun.
Ani tak tahan dengan kebekuan yang terjadi
"Oke, kita pergi," Aini menyerah. Ami mengangkat wajah, tapi ekspresinya masih menyisakan kegusaran.
"Sudah males, aku mau pulang,"
"Mi, kok gitu sih?" Ani merasa tak enak hati.
"Kita pergi sekarang, aku sudah kabari Fitri dan dia setuju untuk belanja besok."
Ami sudah bangkit dari tempat duduknya, suara gesekan kaki kursi ke lantai menandakan dia bangun dengan sedikit menghentakkan tubuh. Dia masih gusar.
"Mi, maaf. Aku gak maksud..."
"Entahlah, Ay... Aku pulang." Ami tak menunggu persetujuan Aini, dia langsung melangkah menuju motornya yang terparkir di dekat pintu pagar.
Aini terdiam. Dia terkejut dengan sikap Ami, selama ini, jika kesal, Ami tak pernah bertingkah seperti ini. Aini mengejar Ami lalu berjalan di sampingnya, tapi Ami tak mempedulikan. Ami menganggapnya tak ada. Aini semakin salah tingkah.
Bersambung

Cerpennya ok, bikin penasaran. Mantap bu. .
BalasHapusMakasih,
BalasHapusDitunggu lanjutannya Bu
BalasHapusInsya Allah
BalasHapus